cookie

We use cookies to improve your browsing experience. By clicking «Accept all», you agree to the use of cookies.

avatar

Salafy Mamuju

Show more
Advertising posts
208
Subscribers
No data24 hours
No data7 days
+430 days

Data loading in progress...

Subscriber growth rate

Data loading in progress...

Foto dari Sahiruddin
Show all...
Repost from SALAFY SOLO
TERUS MENJAGA KETAATAN SETELAH RAMADHAN •••• 🎙️ Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah Kita tidak bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan kemudian lupa dan memutar punggung kita untuk melakukan ketaatan dan mentaati Allah di bulan-bulan yang lainnya. Teruslah --barakallahu fikum-- dalam menyambung ibadah kepada Allah seperti dengan mengerjakan shalat malam dan mentaati Allah serta semua ketaatan yang dia lakukan di Ramadhan. Kita jangan lupa! Sebagian orang melakukan ketaatan di bulan ini, namun jika bulan ini telah berlalu dia kurang, malas, dan sering pura-pura lupa melakukan ketaatan. Jangan demikian! Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya kita memiliki perhatian terhadap bulan ini lebih dari yang lainnya, tetapi sepanjang tahun dan sepanjang hidup kita wajib untuk selalu mengingat Allah. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا الله ذِكْرًا كَثِيرًا. وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا. "Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (menyebut dan mengingat) Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah untuk-Nya di waktu pagi dan petang." (QS. Al-Ahzab: 41-42) Jadi seorang mu'min selalu mengingat Allah Tabaraka wa Ta'ala selama-lamanya, mentaati-Nya, bertakwa kepada-Nya, takut kepada-Nya dan selalu merasa diawasi oleh Allah setiap saat. https://t.me/salafysolo/1059
Show all...
SALAFY SOLO

Arsip

https://t.me/salafysolo

Segenap Tim Admin dan Asatidzah pembina Channel Salafy Mamuju dan *Grup WhatsApp Salafy Mamuju* mengucapkan : 💐Selamat Hari Raya Idul fitri 1445H ﺗَﻘَﺒَّﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻨَّﺎ ﻭَﻣِﻨْﻜُﻢ صَالِحَ الأَعْمَالِ *Taqabbalallahu minna wa minkum shalihal a'mal* "Semoga Allah menerima amalan-amalan shalih kami dan Anda semuanya." https://t.me/salafymamuju
Show all...
Repost from Salafy Indonesia
⚠✅📢❌ BAHAYA CINTA KEPEMIMPINAN ✍🏻 Al-Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, ما منْ أحَدٍ أَحبَّ الرِّئَاسَةَ إِلَّا حسدَ وبغَى وَتَتَبَّعَ عُيُوبَ النَّاس وَكَرِهَ أَنْ يُذْكَرَ أَحَدٌ بِخَيْرٍ Tidak ada seorang pun yang mencintai kepemimpinan melainkan dia akan hasad (iri), melampaui batas, mencari-cari aib orang lain, dan tidak suka orang lain dibicarakan dengan kebaikan. 📚 Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih, 1/569 🌍 Kunjungi || https://forumsalafy.net/bahaya-cinta-kepemimpinan ⚪️ WhatsApp Salafy Indonesia ⏩ Channel Telegram || http://telegram.me/forumsalafy 💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
Show all...
▪️ ••┈┈✺ ﷽ ✺┈┈•• ▪️ 🍃🌺🍃 [Gambar Fawaid] 010 🌙📚🗒️ BAHAN RENUNGAN DI AKHIR RAMADHAN 💬 Syaikh Shalih al-Fauzan hafidzahullah berkata, نوازن حالتنا قبل دخول هذا الشهر وحالتنا الحاضرة هل صلحت أعمالنا؟ وهل تحسنت أخلاقنا "Mari kita bandingkan kondisi kita sebelum masuk bulan Ramadhan ini dengan kondisi kita sekarang. Apakah amalan-amalan kita semakin baik? Apakah akhlak-akhlak kita semakin bagus?" ✍️ Al-Khuthab al-Mimbariyah fil Munasabah al-Ashriyah 1/309 sumber : https://t.me/KajianIslamTemanggung/17619 ≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈ 📱 Join & share: •telegram: t.me/salafymamuju
Show all...
▪️ ••┈┈✺ ﷽ ✺┈┈•• ▪️ 🍃🌺🍃 [Gambar Fawaid] 009 LEBIH SEMANGAT SHALAT ISYA & SHUBUH DI MASJID DI 10 MALAM TERAKHIR RAMADHAN! ▪️ Berkata al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i rahimahullah, "من شهد العشاء والصبح ليلة القدر، فقد أخذ بحظه منه" "Barangsiapa yang hadir (di masjid) untuk melaksanakan shalat isya dan shubuh di malam (yang bertepatan dengan) lailatul qadr, maka ia telah meraih bagian dari keutamaan lailatul qadr" 📚 Tharhut Tatsrib karya al-'Iraqi, 4/162. 🎙Sumber: https://t.me/hikmahsalafiyyah/9893 ▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️▫️ 📱 Join & share: •telegram: t.me/salafymamuju
Show all...
Pendapat kedua ini dianggap kuat oleh Ibnu Qayyim. Beliau mengatakan, “Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam melambatkan shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Ibnu Umar, dengan semangatnya untuk mengikuti As-Sunnah, tidak keluar hingga matahari telah terbit dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427; Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105) Hikmah melambatkan shalat Idul Fitri ialah semakin meluas waktu yang disunnahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Adapun hikmah menyegerakan shalat Idul Adha ialah semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberati manusia untuk menahan diri tidak makan hingga mereka memakan hasil kurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105—106) *Tanpa Azan dan Iqamah* 💎 Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu ia berkata, صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ “Aku shalat dua hari raya bersama Rasulullah, bukan hanya satu atau duakali, tanpa azan dan tanpa iqamah.” (Sahih, HR. Muslim) Dari Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdillah al-Anshari radhiyallahu anhum keduanya berkata, لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمَ الْأَضْحَى. ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِينٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ: أَنْ لَا أَذَانَ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِينَ يَخْرُجُ الْإِمَامُ وَلَا بَعْدَ مَا يَخْرُجُ، وَلَا إِقَامَةَ وَلَا نِدَاءَ وَلَا شَيْءَ، لَا نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلَا إِقَامَةَ “Tidak ada azan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari mengatakan, “Tidak ada azan dan iqamah di hari Fitri saat imam keluar, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan, tidak ada apa pun, tidak pula iqamah.” (Sahih, HR. Muslim) Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar radhiyallahu anhuma melakukan shalat Id tanpa azan dan iqamah.” Imam Malik rahimahullah berkata, “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami. Para ulama bersepakat bahwa azan dan iqamah dalam shalat dua hari raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94) Bagaimana dengan Panggilan Lain Semacam, “Ash-Shalatu Jami’ah”? Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Riwayat mursal dari seorang tabiin, yaitu az-Zuhri. Mengkiaskannya dengan shalat Kusuf (gerhana). Namun, pendapat yang kuat bahwa seruan ini juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari az-Zuhri merupakan riwayat mursal, yang tentu tergolong dha’if (lemah). Sementara itu, pengkiasan dengan shalat Kusuf tidaklah tepat karena keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya, pada shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga diperlukan seruan semacam itu, sementara pada shalat Id tidak demikian. Orang-orang justru sudah berangkat menuju tempat shalat dan berkumpul di sana. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95) Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata, “Pengkiasan di sini tidak sah. Sebab, ada dalil sahih yang menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak ada azan dan iqamah atau apa pun untuk shalat Id. Dari sini diketahui bahwa panggilan untuk shalat Id adalah bid’ah, dengan lafaz apa pun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452) Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau memulai shalat tanpa azan dan iqamah, juga tanpa ucapan “ash-shalatu jami’ah.” Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatu pun dari (panggilan-panggilan) itu.” (Zadul Ma’ad, 1/427) *Kaifiat (Tata Cara) Shalat Id* *Shalat Id dilakukan dua rakaat* Pada prinsipnya, tata caranya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun, ada sedikit perbedaan, yaitu ditambah takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua ditambah 5 kali takbir, selain takbiratul intiqal (takbir perpindahan gerakan).
Show all...
Pena Ilmu Salafiyyin: ✅💎🌷🌹🌺 *Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri* Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun, barangkali hanya sedikit yang mau memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam “memaknainya”. *Pendahuluan* Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syariat pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Idul Adha. Karena itu, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu. Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat. Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi Idul Fitri yang sebenarnya sebagaimana yang dimaukan oleh syariat. Bila Ramadan sudah berjalan tiga minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian, arus mudik mulai meningkat, dan berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah-olah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri. Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syariat memang mutlak diperlukan. Jika tidak demikian, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dilihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan oleh syariat. Demikian pula dengan Idul Fitri. Apabila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak. Tidak pula harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi. Tidak harus mudik juga karena bersilaturahim dengan sanak famili sebenarnya bisa dilakukan kapan saja. Dengan mengetahui bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi membutuhkan biaya besar. Semuanya akan terasa lebih mudah. Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri. https://t.me/PenaIlmuSalafiyin *Definisi Id (Hari Raya)* Ibnu A’rabi mengatakan, “Id[1] dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (al-Lisan, hlm. 5) Ibnu Taimiyah berkata, “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang, berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan, maupun bulanan.” (Dinukil dari Fathul Majid, hlm. 289, tahqiq al-Furayyan) Id (hari raya) dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jumat. 💎 Dari Anas bin Malik ia berkata, قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ “Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai dua hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Apa (yang kalian lakukan) dengan dua hari itu?” Mereka menjawab, “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliah.”
Show all...
Pena Ilmu Salafiyyin

Ittiba'u Rasullillah Menyebarkan Ilmu. Berdakwah KeJalan Allah diatas Bashirah...

Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir rukuk, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu anha, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ “Rasulullah bertakbir pada (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali, selain dua takbir rukuk.” (HR. Abu Dawud dalam “Kitabush Shalat”, “Bab at-Takbir fil ’Idain”, ‘Aunul Ma’bud, 4/10; Ibnu Majah no. 1280; dinilai sahih oleh Syaikh al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1149) Pertanyaan, “Apakah lima takbir pada rakaat yang kedua termasuk takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?” Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut adalah selain takbiratul intiqal. (al-Istidzkar, 7/52, dinukil dari Tanwirul ‘Ainain) *Pertanyaan, “Tentang tujuh takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?”* *Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat*. Pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa tujuh takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178; Aunul Ma’bud, 4/6; Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah) 💎 Pendapat Imam asy-Syafi’i, bahwa tujuh takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya) Tampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Imam asy-Syafi’i, berdasarkan riwayat yang mendukungnya. Riwayat tersebut dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً، سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ، سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الصَّلَاةِ “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertakbir pada dua hari raya sebanyak 12 takbir, 7 takbir pada rakaat yang pertama dan 5 takbir pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.” (Ini lafaz ath-Thahawi) Adapun lafaz ad-Daraquthni, سِوَى تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ “Selain takbiratul ihram.”  (HR. ath-Thahawi dalam Ma’ani al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah; ad-Daruquthni, 2/47—48 no. 20) Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan. Namanya Abdullah bin Abdurrahman ath-Thaifi. Akan tetapi, hadits ini dinilai sahih oleh Imam Ahmad, Ali bin al-Madini, dan Imam al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh at-Tirmidzi. (lihat at-Talkhis, 2/84, tahqiq as-Sayyid Abdullah Hasyim al-Yamani; at-Ta’liqul Mughni, 2/18; dan Tanwirul ‘Ainain, hlm. 158) https://t.me/PenaIlmuSalafiyin *Bacaan surah pada dua rakaat shalat Id: semua surah yang ada boleh dan sah untuk dibaca.* Akan tetapi, dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca pada rakaat yang pertama “sabbihisma” (surah al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “hal ataaka” (surah al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama beliau membaca surat Qaf dan pada rakat kedua membaca surah al-Qamar. (Keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427—428) Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan. Salah satu pendapat Imam Malik menyebutkan tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Syaikh al-Albani dalam Tamamul Minnah (hlm. 349), lihat juga al-Irwa‘ (3/113). Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang sahih dalam hal ini. *Kapan Membaca Doa Istiftah?* Imam asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat bahwa doa istiftah dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (al-Umm, 3/234 dan al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hlm. 149) *Khotbah Id* ✅💎 Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khotbah. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata, شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
Show all...
Pena Ilmu Salafiyyin

Ittiba'u Rasullillah Menyebarkan Ilmu. Berdakwah KeJalan Allah diatas Bashirah...

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ “Rasulullah dahulu keluar pada hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla. Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Beliau kemudian berpaling dan berdiri di hadapan manusia, sedangkan mereka duduk di saf-saf mereka. Kemudian beliau menasihati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Apabila beliau ingin mengutus suatu utusan, beliau melakukannya saat itu; atau beliau ingin memerintahkan sesuatu, beliau perintahkan saat itu, lalu beliau pergi.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar” dan Muslim) Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal. Jarak antara tempat tersebut dan Masjid Nabawi sejauh seribu hasta.” Ibnul Qayyim berkata, “Itu adalah tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.” Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Tampaknya, tempat itu dahulu di sebelah timur Masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’ ….” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Syaikh al-Albani, hlm. 16) *Waktu Pelaksanaan Shalat* Yazid bin Khumair ar-Rahabi berkata, خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ الْإِمَامِ فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ. وَذَلِكَ حِينَ التَّسْبِيحِ “Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pergi bersama orang-orang pada hari Idul Fitri atau Idhul Adha. Ia mengingkari lambatnya imam. Ia pun berkata, ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Waktu itu adalah ketika tasbih.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara mua’llaq, “Kitabul ‘Idain”, “Bab at-Tabkir Ilal ‘Id”, 2/456; Abu Dawud, “Kitabush Shalat”, “Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id”, 1135; Ibnu Majah “Kitab Iqamatush Shalah was Sunan fiha”, “Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain”, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud) Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Waktu tersebut adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang sahih yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani disebutkan, ketika waktu shalat sunnah Dhuha. 💎 Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Para ahli fikih bersepakat bahwa shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (al-Fath, 2/457) Ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah ketika terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini adalah pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang pertama adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104) Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Sebab, menurut Ibnu Rajab rahimahullah, “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi bin Khadij, dan sekelompok tabiin bahwa mereka tidak keluar menuju shalat Id kecuali ketika matahari telah terbit. Bahkan, sebagian mereka shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105) https://t.me/PenaIlmuSalafiyin *Apakah Waktu Idul Fitri Lebih Didahulukan daripada Idul Adha?* Dalam hal ini ada dua pendapat: 1. Keduanya dilakukan dalam waktu yang sama. 2. Waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri disunnahkan diakhirkan, sedangkan waktu pelaksanaan shalat Idul Adha disunnahkan disegerakan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad.
Show all...
Pena Ilmu Salafiyyin

Ittiba'u Rasullillah Menyebarkan Ilmu. Berdakwah KeJalan Allah diatas Bashirah...