(268)
Karena Santri Pantang Berhenti
Menjadi santri adalah rejeki. Sebuah kedudukan mulia yang menawarkan derajat tinggi. Di dunia maupun di akhirat nanti.
Namun, yang dimaksud adalah santri yang benar-benar santri. Bukan santri gadungan, bukan santri lepasan, bukan santri yang badannya di pesantren, jiwanya melayang entah ke mana.
Jadilah santri yang tidak setengah hati. Jadilah santri yang pantang berhenti!
Kenapa pantang berhenti?
Sebab, kehidupan ke depan di dunia ibarat lautan luas. Mampu berenang saja tidak cukup. Mengarunginya harus menggunakan kapal. Nah, ilmu agama adalah kapalnya.
Kehidupan dunia bagaikan hutan liar. Banyak bahayanya. Jangankan malam, siang saja tidak ada cahaya. Saking lebatnya. Ilmu akan membawamu ke jalur yang benar. Tidak tersesat jalan, apalagi masuk jurang.
Kehidupan dunia dimisalkan dengan malam yang pekat gelap gulita. Ilmu menjadi cahaya yang menuntunmu.
Lebih baik bersusahpayah sekarang, daripada engkau menyesal di kemudian.
Al Ashma'i (Thabaqat Syafi'iyyin 1/149) berkata, " Siapa yang tak mampu bertahan sesaat untuk susahnya belajar, pasti selamanya dalam penyesalan karena kebodohan"
Ke depan, persoalan kehidupan semakin berat, terus bertambah, dan komplek sifatnya. Urusan keluarga, pendidikan anak, hidup bermasyarakat, pekerjaan, kesehatan, dan tentunya terkait hukum-hukum ibadah.
Sudah banyak yang menyesal, maka jangan berada di barisan orang yang menyesal!
Kenapa santri pantang berhenti?
Sebab, ilmu yang dicari tidak ada habisnya. Walau bagaimana mempelajari, tetap saja ilmu yang didapatkan hanyalah sedikit.
Jika sepanjang hidup dicari, ilmu tidak akan habis, lalu kenapa berhenti padahal baru beberapa tahun saja?
Seorang anggota suku Abs pernah menemani sahabat Salman Al Farisi (wafat tahun 33 H) dalam satu perjalanan.
Di tepi sungai Dijlah (Tigris. Panjangnya 1.900 km), orang itu minum airnya yang masih jernih dan bening.
" Ayo, minum lagi!", kata Salman.
Jawabnya, " Saya sudah kenyang ".
Salman bertanya, " Menurutmu, apa yang engkau minum tadi apakah akan mengurangi aliran sungai Dijlah? ". " Tentu tidak!", jawabnya.
" Seperti itulah ilmu. Tidak akan ada habisnya. Maka, tuntutlah ilmu yang bermanfaat untukmu! ", kata Salman. ( Az Zuhud, Ibnul Mubarok, 771)
Santri, pantanglah berhenti! Sampai kapan?
Teruslah berjuang sampai engkau pada titik yang disebutkan sahabat Ibnu Umar,
" Seseorang itu belumlah dikatakan berilmu, sampai pada titik dimana ia : tidak lagi ada hasad kepada yang di atasnya, tidak lagi memandang rendah yang di bawahnya, dan tidak mau menukar ilmunya dengan materi" ( Tahdzibul Hilyah 1/218).