SYUBHAT : "SIBUKKAN DIRI DENGAN ILMU, BUKAN DENGAN FITNAH. KITA PUNYA ULAMA."
Pertanyaan :
Bagaimana dengan ucapan orang yang berkata: "Sibukkan diri dengan ilmu, bukan dengan fitnah. Kita punya ulama. Allah ta'ala berfirman:
فَسْـَٔلُوْٓ اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Kita selalu menunggu Kalam ulama Krn ulama adalah pewaris para Nabi,,mohon faedahnya jazakallahu khairan Barakallahu fiik.
-------------------------
Jawaban dengan memohon pertolongan pada Allah ta'ala :
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته.
In sya Allah kita tidak dipalingkan dari ilmu seperti yang sering didengung²kan oleh para hizbiyyin yang dulu dan belakangan.
In sya Allah jika kita tidak sedang ada udzur, durus kita setiap harinya sangat banyak.
Kita menolong agama Allah dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم di tengah keterasingan manhaj yang lurus, tanpa kita mengabaikan pembelajaran dan pengajaran ilmiah In sya Allah.
Kami telah sering mengamalkan ayat tadi selama bertahun² yang panjang. Kami berulang bertanya pada ulama sampai kami mengetahui kebenaran setelah membandingkan pendapat² dari pihak yang bertikai, berdasarkan dalil² dan kaidah² yang ada.
Dan kami telah tahu Jawaban para ulama.
Hujjah telah ditegakkan dengan berbagai dalil dan Kaidah.
Itu semua hanya boleh dibatalkan dengan hujjah yang lebih kuat,
Allah ta'ala mengatakan:
اتبعوا ما أنزل إليكم من ربكم ولا تتبعوا من دونه أولياء.
"Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain itu."
Ayat ini dijadikan oleh ulama sebagai salah satu dalil tentang haramnya Taqlid.
Yang terpandang adalah pendalilan, bukan pendapat orang yang tidak ma'shum.
Memang betul:
Secara adab adalah mendahulukan yang lebih berilmu dan lebih tua untuk berbicara.
Namun apabila kebenaran (yang terbukti didukung dengan dalil dan manhaj Salafush Shalih) dalam suatu masalah dikhawatirkan terkubur atau tersamarkan karena kekeliruan sikap tokoh yang ma'shum, maka boleh orang yang mengetahuinya untuk berbicara, sesuai dengan ajaran Salaf.
Sekarang orang tua telah berbicara namun hujjahnya tidak sekuat hujjah yang disampaikan orang muda.
Dan orang muda berbicara dengan hujjah yang sangat kuat.
Kami tetap menghormati orang tua. Namun para pewaris para Nabi di zaman Salaf dan yang Setelahnya رضي الله عنهم telah berwasiat pada kami untuk menilai berdasarkan hujjah, bukannya kebesaran tokoh.
Dan kami taat pada wasiat para pewaris Nabi tersebut.
Sampai kapankah si fulan membungkus sikap taqlidnya dengan istilah taaniy dan rujuk pada orang besar?
Sampai kapankah dia meremehkan orang muda dan silau dengan kebesaran orang tua, sambil membutakan mata dari hujjah yang disampaikan?
Dan sampai kapankah dia menyembunyikan kesombongan di dalam jiwanya itu dengan ungkapan² yang indah den menipu?
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم menyebutkan:
الكبر بطر الحق وغمط الناس.
"Kesombongan adalah: menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (HR. Muslim dari Ibnu Mas'ud رضي الله عنه).
Ibrahim رحمه الله berkata: Al Fudhail ditanya: “Apakah tawadhu’ itu?” beliau menjawab: “Engkau tunduk pada kebenaran dan menaatinya. Sekalipun engkau mendengarnya dari anak kecil, engkau menerimanya darinya. Sekalipun engkau mendengarnya dari orang yang paling bodoh, engkau menerimanya darinya.” (“Hilyatul Auliya”/3/hal. 392/cet. Dar Ummil Qura/atsar hasan).
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله berkata di dalam bantahan beliau terhadap orang yang mengekor pada sebagian tokoh besar: “Pendapat itu tidak menjadi benar disebabkan oleh keutamaan orang yang mengucapkannya. Tapi pendapat itu menjadi benar hanya disebabkan oleh penunjukan dalilnya.” (“Jami’ Bayanil Ilm”/2/hal. 174/cet. Dar Ibnil Jauziy).
Al Imam Asy Syathibiy رحمه الله berkata tentang ahli taqlid: “Dan mereka menggugurkan pemeriksaan dan pencarian terhadap ucapan-ucapan ulama Mutaqaddimin sama sekali di dalam masalah tadi, karena berbaik sangka kepada para tokoh (Mutaakhkhirin), dan mencurigai ilmu (yang benar), sehingga sikap tadi menjadi bid’ah