Saat seorang pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri, saya akan segera mengumpulkan data hal-hal yang mendukung atau bahkan menihilkan potensi sakit jantung.
Pertama-tama saya harus melakukan pemeriksaan fisik melihat hentakan denyut jantung pada dinding dada, menentukan proyeksi ukuran jantung di dinding dada, lalu terpenting adalah mendengarkan suara/ bunyi jantung secara seksama dengan alat stetoskop.
Selain itu saya juga mesti memeriksa ada tidaknya perubahan bentuk dan warna pada ujung jemari tangan (clubbing) atau ada tidaknya timbunan cairan (edema) pada kedua kaki.
Berdasarkan informasi dari anamnesa serta kesesuaian atau malah ketidak-cocokan dengan hasil-hasil pemeriksaan fisik inilah dibangun asumsi atau dugaan penyakit jantung, atau kemungkinan penyakit lain dengan gejala yang mirip.
Berangkat dari asumsi inilah dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan, yang tidak selalu sama untuk setiap pasien. Selain kadar gula darah, lemak darah, tekanan darah, dan kadar enzim otot jantung dalam darah, ada pemeriksaan rekaman listrik jantung (EKG), CT jantung, atau Ekokardiografi (bahkan apakah Eko standar via dinding dada atau via saluran cerna atas/ Esofagus (TEE).
Tidak semua pasien memerlukan pemeriksaan penunjang yang sama dan tidak semua pasien harus melalui semua pemeriksaan tersebut.
Disinilah peran seorang dokter, yang selain ‘body of knowledge’ (seperti pada AI), dokter ini punya hati dan empati (yang tidak mungkin ada pada AI). Dari hati dan empati ini lahirlah etika profesi, sehingga dokter bisa berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya sebagai seorang manusia, bukan mesin atau robot.
Meskipun penyakitnya tidak bisa disembuhkan, dengan hati dan empati inilah dokter akan bisa menyembuhkan penderitaan pasien.
*Pernyataan Bodoh yang disengaja untuk merusak kepercayaan masyarakat pada Dokter*
Pernyataan menkes tentang penggunaan stetoskop, sebagai alat bantu untuk mendengarkan bunyi jantung, sebagai tidak ilmiah adalah sebuah pernyataan yang merendahkan profesi dokter dan ilmu kedokteran. *Hanya orang bodoh yang tidak berpendidikan yang bisa mengatakan hal itu.*
Pernyataan ini menjadi berbahaya karena diucapkan oleh seorang pejabat kesehatan yang berpotensi untuk dipercaya dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat yang kurang berpendidikan. Semua dokter di seluruh pelosok negeri ini, bahkan di dunia, masih dan akan selalu menggunakan stetoskop sebagai alat bantu utama untuk memastikan kesehatan jantung dan paru pasien.
Hilangnya kepercayaan masyarakat pada stetoskop seorang dokter bisa menimbulkan chaos pada sistem layanan kesehatan kita yang faktanya masih amburadul seperti saat ini.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik (termasuk penggunaan stetoskop) adalah 70-80% informasi untuk sampai pada diagnosa yang benar. Tanpa anamnesa yang baik, semakin besar resiko terjadinya salah diagnosa dan salah pengobatan.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang baik hanya bisa dilakukan bila dokter dan pasien bisa berkomunikasi dalam bahasa yang sama.
Tanpa anamnesa yang baik, dokter akan cenderung memanfaatkan semua fasilitas pemeriksaan penunjang yang dimiliki RS, yang tentu saja berakibat pada pemborosan sumber daya diagnostik, dan tentu saja keuangan.
*Pertanyaannya, kebijakan ini dibuat untuk apa dan untuk kepentingan siapa? Bisa jadi memang skenario ini yang sedang terjadi demi lancarnya bisnis kesehatan pemilik modal.*
Pikiran Sesat (logical fallacy) dan agenda dibalik narasi bodoh yang terus berulang
Pikiran sesat (logical fallacy) menkes yang menganggap semua penyakit bisa diketahui dengan AI, telah menghasilkan pelbagai kebijakan kesehatan yang salah dan berbahaya, contohnya PMK No. 6-2023 tentang Dokter WNA. PMK ini bahkan tidak mengharuskan dokter WNA untuk bisa berbahasa Indonesia (Pasal 10 ayat 4: “….. juga memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang dapat dipenuhi setelah TK-WNA didayagunakan”).