Ulama salaf saleh banyak memberikan contoh atas akhlak dan adab yang baik kepada kita. Salah satu akhlak mulia mereka adalah tidak membalas celaan, caci maki, dan olok-olok. Ulama tidak melayani celaan, justru mereka memaafkan. #Nafsiyah
--
Tidak Membalas Celaan
https://muslimahnews.net/2024/04/28/29134/
--
Muslimah News, NAFSIYAH — Ulama salaf saleh banyak memberikan contoh atas akhlak dan adab yang baik kepada kita. Salah satu akhlak mulia mereka adalah tidak membalas celaan, caci-maki, dan olok-olok. Ulama tidak melayani celaan, justru mereka memaafkan.
Ada ucapan seorang ulama, yakni Waki’ rahimahullah, “Seorang laki-laki mencela Imam Waki’ rahimahullah, tetapi beliau tidak merespons sama sekali. Beliau ditanya, ‘Mengapa engkau tidak membalas celaan itu?’ Beliau menjawab, ‘Untuk apa kita belajar agama kalau begitu?’” (Raudhatul ‘Uqala, hlm. 166).
Kemudian, ada yang mencela Asy-Sya’biy rahimahullah, beliau berkata, “Apabila engkau benar, semoga Allah mengampuni aku. Apabila engkau berdusta, semoga Allah mengampuni engkau.” (Al-‘Aqdul Farid, hlm. 276).
Sikap di atas merupakan sikap yang ditunjukkan oleh para ulama saat menghadapi celaan. Kita pun mengetahui bahwa kekasih Allah Swt., yaitu Nabi saw. juga pernah dicela dengan diberikan julukan yang jelek. Allah Swt. berfirman, “Orang-orang kafir berkata, ‘Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.’” (QS Sad: 4).
--
Tidak Semua Manusia Menyukai Kita
--
Kita tidak bisa menjamin semua manusia akan menyukai kita. Kita pun tidak bisa meminta semua manusia memuji, serta tidak ada satu pun yang mencela. Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Setiap orang pasti ada yang mencintai dan ada yang membenci. Hal tersebut pasti terjadi, maka hendaklah selalu bersama orang-orang yang taat kepada Allah.” (Mawa’idh Imam Stafi’i).
Saudariku, tidak perlu memedulikan dan merespons celaan sama sekali. Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Barang siapa yang menyangka ia bisa selamat dari celaan manusia dan cercaan mereka, maka ia adalah orang gila.” (Al-Akhlaaq wa As-Siyar fi Mudawaatin Nufuus, hlm.17).
Sementara itu, puncak akhlak dari ulama salaf saleh ialah berusaha memaafkan dan hal ini membutuhkan jiwa yang besar. Firman-Nya, “Jika kalian membalas, maka balaslah yang setimpal. Akan tetapi, bila kalian bersabar, maka itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.” (QS An-Nahl: 126).
Pada surah yang lain, “Maafkan dan ampuni (lapangkan dada)! Apakah engkau tidak ingin diampuni oleh Allah?” (QS An-Nur: 22).
--
Tidak Boleh Menghina Orang Lain
--
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Swt. melarang dari perbuatan sikhriyyah terhadap manusia, yaitu sikap merendahkan orang lain dan menghina mereka. Seperti dalam hadis, ‘Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang.’”
Sabda Nabi saw, “Cukuplah seseorang berbuat keburukan jika ia merendahkan saudaranya sesama muslim.” (HR Muslim).
Sesungguhnya kita tidak mengetahui hakikat seseorang. Bisa jadi orang yang dicela itu lebih mulia di sisi Allah Swt. karena lebih banyak amal kebaikannya dan bertakwa. Tidak ada jaminan seseorang akan selalu baik kondisinya dari orang lain. Orang yang kaya bisa saja mendadak hilang hartanya. Orang yang memiliki jabatan tinggi pun bisa melengser seketika.
Orang yang mulia kedudukannya bisa juga nanti direndahkan masyarakat. Oleh karenanya, tidak pantas seseorang jemawa, merasa dirinya lebih baik dari orang lain, lalu mencela dan merendahkannya.
Jika pengemban dakwah dihadapkan pada celaan para pencela karena aktivitas dakwahnya, sungguh mereka (pengemban dakwah) ialah orang yang beruntung. Ini karena mereka berbuat amal saleh, bukan amal salah. Allah akan mengganjar dengan pahala atas kesabaran mereka dalam dakwah.
Sebaliknya, sungguh merugi bagi para pencela, karena Allah pasti membalas mereka dengan balasan yang buruk. Semoga Allah Swt. senantiasa menjaga lisan dan perbuatan kita dari mencela dan merendahkan orang lain. Wallahualam bissawab. [MNews/Rindy-YG]