cookie

Мы используем файлы cookie для улучшения сервиса. Нажав кнопку «Принять все», вы соглашаетесь с использованием cookies.

avatar

📚Kumpulan Fatwa Ulama📚

Berbagi Faedah Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Fatwa Ulama Salafi

Больше
Страна не указанаЯзык не указанКатегория не указана
Рекламные посты
204
Подписчики
Нет данных24 часа
Нет данных7 дней
Нет данных30 дней

Загрузка данных...

Прирост подписчиков

Загрузка данных...

📡🌴🌱 CARA MENYAMBUNG TALI SILATURAHIM DENGAN KERABAT ➖➖➖➖ ☑️ Dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ".... dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tetangganya dan menyambung hubungan rahimnya." 🌱 yang dimaksud dengan rahim adalah kerabat dekat. Semakin dekat hubungan kekeluargaan seseorang maka semakin wajib untuk menyambung hubungan dengannya. 🔘 Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hanya menyebutkan tentang menyambung tali silaturahmi tanpa menjelaskan dengan apa menyambungnya? 🌴 Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin menjelaskan bahwa hal itu dikembalikan kepada kebiasan daerah masing-masing dan disesuaikan kebutuhan mereka. ▶️ Sehingga cara menyambung tali silaturahim pun berbeda-beda, ⏳ Ada sebagian kerabat yang menyambungnya harus dengan berkunjung ke kediamannya. Terkhusus jika ia adalah orang yang kaya. ⏳ Sebagian kerabat ada yang tidak cukup hanya dengan dikunjungi saja, tapi harus dengan memberinya makanan dan kebutuhannya sehari-hari. Jika ia adalah seorang yang fakir. ⏳ Dan ada juga kerabat yang membutuhkan uang dan harta, sehingga memberinya pinjaman uang dan harta lebih utama dari sekedar berkunjung atau memberinya makanan. 👉🏻 dan demikian seterusnya.. 💯 Sehingga setiap orang dimuliakan sesuai dengan keadaannya. 🌏 Sumber rujukan: Syarah Riyadus Shalihin (4/110) 📝 Oleh: Tim Warisan Salaf #fawaidumum 〰〰➰〰〰 🍉 Warisan Salaf menyajikan Artikel dan Fatawa Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah 🍏 Channel kami @warisansalaf 🌍 Twitter: @warisansalaf 💻 Situs Resmi http://www.warisansalaf.com https://t.me/kumpulanfatwaulama 🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Показать все...
🍃📮 Kami Admin “ 📚 Kumpulan Fatwa Ulama 📚” 📮🍃 , mengucapkan: تقبل الله منا ومنكم صالح الأعمال "Semoga Allah menerima amalan sholehmu dan amalan sholeh kami" 💫 SELAMAT HARI RAYA 'IEDUL FITHRI 1442 H. 🗓 Senin 1 Syawwal 1443 H / 2 Mei 2021 M —---------------------------------— https://telegram.me/kumpulanfatwaulama 📚 Kumpulan Fatwa Ulama 📚 🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Показать все...
📚Kumpulan Fatwa Ulama📚

Berbagi Faedah Berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah dan Fatwa Ulama Salafi

بسم الله الرحمن الرحيم ✋🏼📢🎙💡 DI ANTARA YANG DI UCAPKAN PADA HARI RAYA ✍🏼 Dari Jabir bin Nufair rahimahullah dia berkata, ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫا اﻟﺘﻘﻮا ﻳﻮﻡ اﻟﻌﻴﺪ ﻳﻘﻮﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻟﺒﻌﺾ Dahulu para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam jika berjumpa pada hari raya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, ﺗَﻘَﺒّﻞَ اﻟﻠﻪُ ﻣِﻨَّﺎ ﻭَﻣِﻨْﻚَ TAQABBALALLAHU MINNAA WA MINKA "Semoga Allah menerima amal kami dan Anda." 📚 Tamaam al-Minnah fii at-Ta'liiq 'ala al-Fiqh as-Sunnah hlm. 354. Syaikh Al-Albany menilai sanadnya shahih. @ForumSalafy https://t.me/kumpulanfatwaulama 🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Показать все...
بسم الله الرحمن الرحيم 🌅🌺✅🌔 MENELADANI NABI DALAM BERIEDUL FITRI 🔟 ✍🏼 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qamar Su'aidy. LcPulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat Dari Jabir, ia berkata: ”Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila di hari Ied, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986) Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Ied maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.” Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433) Bila Ied Bertepatan dengan Hari Jum’at Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Ied berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Ied lalu memberikan keringanan pada Shalat Jum'at dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jum'at maka shalatlah’.” Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ''alaihi wasallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Ied, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Ied) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwa-yatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073) Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Ied maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Ied bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211) ● Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur. ● Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)Ucapan Selamat Saat Hari Raya Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari Ied, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain: “Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168). Wallahu a’lam. 📚 Sumber || Majalah Asy Syariah || http://asysyariah.com @ForumSalafy Join Telegram: https://telegram.me/kumpulanfatwaulama WhatsApp: 📚 Kumpulan Fatwa Ulama 📚 🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Показать все...
بسم الله الرحمن الرحيم 🌅🌺✅🌔 MENELADANI NABI DALAM BERIEDUL FITRI 9⃣ ✍🏼 Al-Ustadz Qamar Su'aidy. LcKhutbah Ied Dahulu Nabi shallallahu ''alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah. “Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Ied bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id) Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita. Jama'ah Ied dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Ied, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasai. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155) Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Ied berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam. ▪ Wanita yang Haid Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Ied, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Ied. ▪ Sutrah Bagi Imam Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyari'atkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggal-kannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Ied. “Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Ied, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Ied, Apa yang Dilakukan? Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Ied maka shalat 2 raka'at, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Ied kita pemeluk Islam’.” Adalah ‘Atha (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Ied beliau shalat dua raka'at. Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169) 📚 Sumber || Majalah Asy Syariah || http://asysyariah.com @ForumSalafy Join Telegram: https://telegram.me/kumpulanfatwaulama WhatsApp: 📚 Kumpulan Fatwa Ulama 📚 🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Показать все...
بسم الله الرحمن الرحيم 🌅🌺✅🌔 MENELADANI NABI DALAM BERIEDUL FITRI 8⃣ ✍🏻 Ditulis Oleh: Al Ustadz Qamar Su'aidy. LcKaifiyah (Tata Cara) Shalat Id Shalat Ied dilakukan dua raka'at, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada raka'at yang pertama 7 kali, dan pada raka'at yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal. Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya: “Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149) ● Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)? Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain) ● Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak? ● Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat: ● Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah) ● Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya) Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu: “Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada raka'at yang terakhir, selain 2 takbir shalat.” (Ini lafadz Ath-Thahawi) Adapun lafadz Ad-Daruquthni: “Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20) Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158) Adapun bacaan surat pada 2 raka'at tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada raka'at yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada raka'at yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada raka'at yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428) ▪ Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan. Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113). Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih dalam hal ini. ▪ Kapan Membaca Doa Istiftah? Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149) 📚 Sumber || Majalah Asy Syariah || http://asysyariah.com @ForumSalafy Join Telegram: https://telegram.me/kumpulanfatwaulama WhatsApp: 📚 Kumpulan Fatwa Ulama 📚 🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Показать все...
بسم الله الرحمن الرحيم 🌅🌺✅🌔 MENELADANI NABI DALAM BERIEDUL FITRI 1⃣ ✍🏻 Ditulis Oleh: Al Ustadz Qamar Su'aidy Lc hafizhahullah 'Iedul Fithri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai 'Iedul Fithri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai 'Iedul Fithri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai 'Iedul Fithri sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “memaknainya”. 'Iedul Fithri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa 'Iedul Fithri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya 'Iedul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu. Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan 'Iedul Fithri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syari'at. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syari'at. Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan 'Iedul Fithri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya 'Iedul Fithri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya 'Iedul Fithri sebagaimana yang dimaukan syari'at. Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” 'Iedul Fithri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang 'Iedul Fithri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang. Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syari'at. Demikian pula dengan 'Iedul Fithri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Ber'iedul Fithri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ber'iedul Fithri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah 📚 Sumber || Majalah Asy Syariah || http://asysyariah.com @ForumSalafy Join Telegram: https://telegram.me/kumpulanfatwaulama WhatsApp: 📚 *Kumpulan Fatwa Ulama* 📚 🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Показать все...
بسم الله الرحمن الرحيم 🌅🌺✅🌔 MENELADANI NABI DALAM BERIEDUL FITRI 2⃣ ✍🏼 Ditulis Oleh: Al Ustadz Qamar Su'aidy Lc hafizhahullahDefinisi 'Ied (Hari Raya) Ibnul A’rabi mengatakan: “ 'Ied (kembali) dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5) Ibnu Taimiyyah berkata: “ 'Ied adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan) 'Ied dalam Islam adalah 'Iedul Fithri, 'Iedul Adha dan Hari Jum’at. Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. ~ Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” ~ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Iedul Adha dan 'Iedul Fithri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)Hukum Shalat 'Ied ✍🏼 Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat 'Ied menjadi 3 pendapat: ● Pertama: Shalat 'Ied merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad. ● Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i. ● Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Al-Imam Asy-Syafi’i (sendiri) menga-takan dalam (buku) Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76) ✅ Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut: Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa) Perhatikanlah perintah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain. Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat). Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat 'Ied adalah bahwa Shalat 'Ied menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344) 📚 Sumber || Majalah Asy Syariah || http://asysyariah.com @ForumSalafy Join Telegram: https://telegram.me/kumpulanfatwaulama WhatsApp: 📚 Kumpulan Fatwa Ulama 📚 🍃🍃🍃🍃?
Показать все...
بسم الله الرحمن الرحيم 🌅🌺✅🌔 MENELADANI NABI DALAM BERIEDUL FITRI 5⃣ ✍🏼 Ditulis Oleh: Al-Ustadz Qamar Su'aidy. LcTempat Shalat Ied Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla. Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini. Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Iedul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 raka'at lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id) Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebut-kan dengan sanadnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Ied di luar Madinah (sampai) di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Ied, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144) “Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Iedul Fitri dan Iedul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim) Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16) 📚 Sumber || Majalah Asy Syariah || http://asysyariah.com @ForumSalafy Join Telegram: https://telegram.me/kumpulanfatwaulama WhatsApp: 📚 Kumpulan Fatwa Ulama 📚 🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Показать все...