cookie

Utilizamos cookies para mejorar tu experiencia de navegación. Al hacer clic en "Aceptar todo", aceptas el uso de cookies.

avatar

Syarak_id™ (MinangSyariah)

Pilar kebangkitan dari Ranah Minang

Mostrar más
Publicaciones publicitarias
382
Suscriptores
Sin datos24 horas
-27 días
-330 días

Carga de datos en curso...

Tasa de crecimiento de suscriptores

Carga de datos en curso...

Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengunjungi kawasan untuk kelima kalinya sejak serangan Yahudi di Gaza. Dia mengunjungi Arab Saudi, Qatar dan Mesir, serta tiba di Palestina yang diduduki pada 7/2/2024. Dia bertemu dengan Perdana Menteri entitas Yahudi, serta pejabat keamanan dan militer untuk membahas rencana pertukaran tahanan, juga gencatan senjata di Gaza. Dia mengatakan setelah pertemuannya dengan Presiden Herzog di Al-Quds (Yerusalem), “Ada tanggapan dari Hamas terhadap proposal yang diajukan, dan kami sedang mempertimbangkannya dengan cermat seperti yang dilakukan Israel, serta ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan, namun kami fokus untuk melakukan pekerjaan ini.” Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengatakan di platfom X, “Hari ini, Menteri Luar Negeri Blinken berada di (Israel) untuk bertemu dengan Netanyahu, Herzog, dan pejabat pemerintah untuk membahas upaya menjamin pembebasan sandera yang ditahan oleh Hamas, serta pentingnya untuk memastikan perdamaian dan keamanan bagi (Israel), juga Palestina.” Perlu dicatat bahwa Amerika mendukung entitas Yahudi di semua tingkatan, serta memasoknya dengan segala jenis senjata dan perbekalan, juga menjamin diamnya rezim-rezim di kawasan tersebut, serta mencegah mereka yang telah ditundukkan dari berpikir untuk memutuskan hubungan, menghentikan normalisasi, atau menghentikan perdagangan dengan entitas Yahudi, khususnya Turki, Uni Emirat Arab, dan Yordania. Entitas Yahudi telah mengebom banyak bangunan, rumah sakit, dan sekolah, membunuh dan melukai lebih dari 100.000 Muslim di Gaza, serta memaksa sekitar dua juta dari mereka untuk mengungsi. Sementara Amerika sedang berupaya untuk mengatur pertempuran dan kawasan, serta menerapkan solusi-solusinya yang menjamin perluasan pengaruhnya, dan kelangsungan entitas Yahudi sebagai pangkalannya di kawasan (hizb-ut-tahrir.info, 8/2/2024).
Mostrar todo...
Photo unavailableShow in Telegram
Jika tidak ingin dipimpin orang jahat. Jangan berhenti amar makruf nahi mungkar dan (jika sudah) lebih kuat lagi amar ma'ruf nahi mungkarnya Ustadz H.M. Ismail Yusanto Cendikiawan Muslim Sumber: YouTube UIYofficial
Mostrar todo...
Bismillah, Selamat datang di "Bincang Rang Mudo", dirajab berkah tahun ini sedikit perih, tanah suci Palestina dizalimi, didiamkan saudaranya sendiri malam ini (Sabtu) saya Erviz st. Sinaro bincang dengan Buya Taufik Nizam Malin Sulaiman, S.H.I, S.Pd Insyaallah jam 09.00 malam klick link live berikut: https://youtube.com/live/pDKn_Yakzh8?feature=share (Video baru setiap Sabtu jam 9 malam) wassalamu'alaimum wr.wb
Mostrar todo...
Ketika Palestina dikunjungi Rasulullah saw

Bismillah, Selamat datang di "Bincang Rang Mudo", dirajab berkah tahun ini sedikit perih, tanah suci Palestina dizalimi, didiamkan saudaranya sendiri malam ini saya Erviz st. Sinaro bincang dengan Buya Taufik Nizam Malin Sulaiman, S.H.I, S.Pd Insyaallah jam 09.00 malam klick link live berikut: wassalamu'alaimum wr.wb

👍 1
Rabu telah tiba, yang menunggu update-an di telegram siapa coba? T.me/itistimeid
Mostrar todo...
00:36
Video unavailableShow in Telegram
Hai Guys... Lama nunggu kabar admin telegram ya? Eh sudah ngepost ini, Coba kasih emoticon... Dan share video ini ya guys.
Mostrar todo...
Satu persoalan yang juga menarik adalah, apakah Hizbut Tahrir itu suatu mazhab atau bukan? Jawabnya, Hizbut Tahrir bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah partai politik –non parlemen kufur– yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir adalah sebuah kelompok yang berdiri di atas dasar ideologi Islam yang diyakini para anggotanya, yang diperjuangkan untuk menjadi pengatur interaksi masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Disebutkan dalam kitab Hizbut Tahrir (1995: 22) bab Keanggotaan Hizbut Tahrir, bahwa Hizbut Tahrir adalah partai bagi seluruh kaum Muslim tanpa melihat lagi faktor kebangsaan, warna kulit, dan mazhab mereka, karena Hizbut Tahrir memandang mereka semua dengan pandangan Islam. (Lihat: Hizbut Tahrir, 1995: 22). Namun demikian, jika umat Islam menaruh kepercayaan (tsiqah) kepada kualitas keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, radhiyallâhu ‘anhu, pendiri Hizbut Tahrir, maka dimungkinkan akan dapat terwujud mazhab An-Nabhani—bukan mazhab Hizbut Tahrir—pada masa mendatang. Sebab, beliau adalah mujtahid mutlak yang memiliki metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut. Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah (1991: 267) berkata, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya, beliau mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.” Wallâhu a‘lam. [Pernah Dipublikasikan Jurnal Al-Wa’ie: 01/01/2005] Daftar Pustaka Abdullah, M. Husain. 1995. Al-Wadhîh fî Ushûl sl-Fiqh. Beirut: Darul Bayariq. Ad-Dahlawi, Syah Waliyullah. 1989. Lahirnya Mazhab-Mazhab Fiqh (Al-Inshâf fî Bayân Asbâb al-Ikhtilâf). Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis. Bandung: CV Rosda. Al-‘Alwani, Thaha Jabir. 1987. Adâb Al-Ikhtilâf fî al-Islâm. Washington: Al-Ma’had Al-‘Alami li Al-Fikr Al-Islami (IIIT). Al-Bakri, As-Sayyid. T.t. I‘ânah ath-Thâlibîn. Jld. I. Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera. Al-Bayanuni, M. Abul Fath. 1994. Studi Tentang Sebab-Sebab Perbedaan Mazhab (Dirâsât fî al-Ikhtilâfât al-Fiqhiyah). Terjemahan oleh Zaid Husein Al-Hamid. Surabaya: Mutiara Ilmu. Al-Hashari, Ahmad. 1991. Târîkh al-Fiqh al-Islami Nasy’atuhu, Mashâdiruhu, Adwâruhu, Madârisuhu. Beirut: Darul Jil. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah. Jld. I. Beirut: Darul Ummah As-Sayis, M. Ali. 1997. Fiqih Ijtihad Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihâdi wa Athwâruhu). Terjemahan oleh M. Muzamil. Solo: CV Pustaka Mantiq. Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Jld. II. Beirut: Darul Fikr. Bik, M. Al-Hudhari. 1981. Târîkh Tasyrî‘ al-Islâmi. T.tp.: Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah. Ibn Humaid, Shalih Abdullah. 1995. Adab Berselisih Pendapat (Adab al-Khilâf). Terjemahan oleh Abdul Rosyad Shiddiq. Solo: Khazanah Ilmu. Isa, Abdul Jalil. 1982. Masalah-Masalah Keagamaan Yang Tidak Boleh Diperselisihkan Antar Sesama Umat Islam (Mâ Lâ Yajûzu fîhi al-Khilâf bayna al-Muslimîn). Terjemahan oleh M. Tolchah Mansoer & Masyhur Amin. Bandung: PT Alma’arif. Khallaf, Abdul Wahhab. 1985. Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulâshah Târîkh at-Tasyrî‘ al-Islâmî). Terjemahan oleh Zahri Hamid & Parto Djumeno. Yogyakarta: Dua Dimensi. Mahmashani, Subhi. 1981. Filsafat Hukum Dalam Islam (Falsafah at-Tasyrî‘ fî al-Islâm). Terjemahan oleh Ahmad Sudjono. Bandung: PT Alma’arif. Nahrawi, Ahmad. 1994. Al-Imâm asy-Syâfi‘i fî Mazhabayhi al-Qadîm wa al-Jadîd. Kairo: Darul Kutub. Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-‘Adalah al-Ijtimâ‘yah fî al-Fikri al-Islâmî al- Mu‘âshir. Beirut: Dar An-Nahdhah Al-Islamiyah.
Mostrar todo...
Lebih jauh An-Nabhani menerangkan bagaimana dapat terjadi perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut. Ini disebabkan adanya perbedaan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar al-ahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash (An-Nabhani, 1994: 387-392). Penjelasannya sebagai berikut: Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu: Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985: 57-58). Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59). Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. (Khallaf, 1985: 59). Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah. (An-Nabhani, 1994: 388-389). Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha‘ (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; Az-Zuhaili, 1996: 909-911). Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64). Tentang Bermazhab Bolehkan kita bertaklid (mengikuti) mazhab tertentu? Menjawab pertanyaan ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994:232) menyatakan, sesungguhnya Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yang diperintahkan Allah Swt. kepada kita adalah mengikuti hukum syariat dan mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yang dibawa Rasulullah saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya atas kita.
Mostrar todo...
MAZHAB (Tempat Pergi?) Biasakan Membaca Hingga Tuntas Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi https://abulwafaromli.blogspot.com/2024/01/apa-itu-madzhab.html?m=1 Pengertian Mazhab Mazhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208). Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci. Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum syariat (fikih), harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup ushul fikih yang menjadi metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) untuk melahirkan hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah, fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i. (Nahrawi, 1994: 208). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395). Lahirnya Mazhab Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H (Al-Hashari, 1991: 209; Khallaf, 1985:46; Mahmashani, 1981: 35). Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dengan para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), al-Auza’i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi’i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) (Lihat: al-’Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146). Bagaimana mazhab-mazhab itu lahir di tengah masyarakat dalam kurun sejarah saat itu? Seperti dijelaskan Nahrawi (1994: 164-168), terdapat berbagai faktor dalam masyarakat yang mendorong aktivitas keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain: Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi. Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha. Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih. Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih (Nahrawi, 1994: 164-168. Lihat juga: Al-Hudhari Bik, 1981: 174-182; Khallaf, 1985: 46-48; Al-Hashari, 1991: 209-213). Terbentuknya Mazhab Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1994: 386), berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.
Mostrar todo...
(QS al-Hasyr [59]: 7). Karena itu, An-Nabhani menandaskan, secara syar‘î kita tidak dibenarkan kecuali mengikuti hukum-hukum Allah; tidak dibenarkan kita mengikuti pribadi-pribadi tertentu. (An-Nabhani, 1994: 232). Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran dan as-Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yang digali oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yang bertaklid pada hukum-hukum yang digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka (An-Nabhani, 1994: 232). Persoalannya, apakah bermazhab ini sesuatu yang dibenarkan syariat Islam? An-Nabhani menjawab, hal itu bergantung pada persepsi umat terhadap masalah ini. Jika mereka berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yang digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yang sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika umat berpaham bahwa yang mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan syariat Islam (An-Nabhani, 1994: 232). Walhasil, para pengikut mazhab wajib memperhatikan hal ini dengan sangat seksama; sekali lagi, sangat seksama, yaitu bahwa yang mereka ikuti hanyalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid, bukan pribadi mujtahid yang bersangkutan. Kalau seseorang bermazhab Syafi’I, misalnya, maka wajiblah dia mempunyai persepsi, bahwa yang dia ikuti bukanlah Imam Syafi’i sebagai pribadi (taqlîd asy-syaksh), melainkan hukum syariat yang digali oleh Imam Syafi’i (taqlîd al-ahkâm). Jika persepsinya tidak demikian, maka para pengikut mazhab pada Hari Kiamat kelak akan ditanya oleh Allah Azza wa Jalla, mengapa mereka meninggalkan hukum Allah dan mengikuti pribadi-pribadi yang statusnya juga sesama hamba-Nya seperti halnya para pengikut mazhab itu? (An-Nabhani, 1994: 232 & 394). Bermazhab Secara Benar Para pengikut mazhab, di samping wajib mempunyai persepsi yang benar tentang bermazhab (seperti diuraikan sebelumnya), wajib memahami setidaknya 2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab (Abdullah, 1995: 372), yaitu: Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub) terhadap mazhab yang diikutinya (Ibn Humaid, 1995: 54). Tidaklah benar, ketika Syaikh Abu Hasan Abdullah al-Karkhi (w. 340 H), seorang ulama mazhab Hanafi, berkata secara fanatik, “Setiap ayat al-Quran atau hadis yang menyalahi ketetapan mazhab kita bisa ditakwilkan atau dihapus (mansûkh).” (Abdul Jalil Isa, 1982: 74). Karena itu, jika terbukti mazhab yang diikutinya salah dalam suatu masalah, dan pendapat yang benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yang benar itu menurut dugaan kuatnya. Para imam mazhab sendiri mengajarkan agar kita tidak bersikap fanatik. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah pernah berkata, “Idzâ shaha al-hadîts fahuwa madzhabî (Jika suatu hadis/pendapat telah dipandang sahih maka itulah mazhabku).” (Al-Bayanuni, 1994: 90). Al-Hakim dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengatakan hal yang sama. Dalam satu riwayat, Imam Syafi’i juga pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989: 112). Kedua, sesungguhnya perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adalah sesuatu yang sehat dan alamiah, bukan sesuatu yang janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nash-nash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîr-nya. (Abdullah, 1995: 373). Hizbut Tahrir Sebuah Mazhab?
Mostrar todo...
Photo unavailableShow in Telegram
disiang hari barang sejenak beristirahatlah. agar energimu pulih lagi untuk mencari rezeki dan dakwahkan solusi ilahi menuju kesatuan Islam wal muslimin (one ummah)
Mostrar todo...