KISAH PENYEMBELIHAN JA'D BIN DIRHAM
Dahulu, kira-kira pada Abad ke-2 Hijriyah ada seorang pemimpin kelompok aliran sesat bernama Ja’d bin Dirham. Ia dan kelompoknya menyatakan bahwa al-Qur’an bukan Kalamullah melainkan makhluk, Allah ﷻ tidak pernah berbicara kepada Nabi Musa as, tidak menjadikan Nabi Ibrahim as sebagai khalil (kekasih)-Nya, dan menafikan sifat-sifat Allah ﷻ lainnya.
Menurut catatan Ibnu Katsir dalam al-Bidayatu wa an-Nihayah menuliskan:
“Ja’d bin Dirham adalah orang yang pertama kali mengatakan al-Qur’an makhluk. Ia seorang budak yang dimerdekakan oleh keluarga Bani Umayyah, berasal dari Khurasan Irak lalu tinggal dan menetap di Damaskus. Pada awalnya ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintahan Bani Umayyah dan di sinilah ia mulai pertama menebarkan racun kesesatannya. Di antara orang yang terpengaruh dengan ajarannya adalah Marwan bin Muhammad dan kelak pada gilirannya ia menjadi khalifah terakhir Dinasti Bani Umayyah hingga ia dikenal dengan sebutan Marwan al-Ja’di sebab Ja’d bin Dirham merupakan guru sekaligus penasehat pribadinya.
Sementara dalam catatan Muhammad bin Khalifah bin Ali at-Tamimiy dalam Maqalah at-Ta’athil wa al-Ja’d bin Dirham mengatakan: Dijelaskan dalam beberapa literatur ulama seperti as-Sam’aniy, Ibnu al-Atsir dan az-Zabidiy mengatakan bahwa faham sesat Ja’d bin Dirham pertama kali tersebar saat ia tinggal di al-Jazirah al-Faratiyah Irak. Banyak orang yang terpengaruh oleh ajakanya disebabkan gubenur kala itu adalah Marwan bin Muhammad yang tidak lain murid kesayangan dari Ja’d bin Dirham.
Kemudian Ja’d bin Dirham merangsek menuju kota Damaskus, ibukota pemerintahan pusat saat itu. Ia ingin menjadikannya ladang kedua untuk menyebarkan faham sesatnya. Di hadapan ulama sekalipun, Ja’d tidak segan untuk “menawarkannya”. Bahkan menarik mereka untuk masuk dalam perdebatan.
Ulama yang bernama Wahb bin Munabbih pernah didatanginya berkali-kali mengatakan: “Aku berpegangan dengan Akal” sembari melontakarkan pertanyaan tentang sifat-sifat Allah ﷻ. Maka dengan nada keras Wahb bin Munabbih mengingat Ja’d bin Dirham:
ويلك يا جعد، اقصر المسألة عن ذلك، إني لأظنك من الهالكين، لو لم يخبرنا الله في كتابه أن له يدا ما قلنا ذلك، وأن له عينا ما قلنا ذلك، وأن له نفسا ما قلنا ذلك، وأن له سمعا ما قلنا ذلك، وذكر الصفات من العلم والكلام وغير ذلك
“Celaka engkau, wahai Ja’d! Urungkan untuk bertanya tentang itu. Aku khawatir engkau akan menjadi orang yang binasa. Seandainya Allah ﷻ tidak memberitahukan kepada kami dalam kitab-Nya bahwa Dia mempunyai tangan, kami tidak akan mengatakan hal itu. (Seandainya Allah ﷻ tidak memberitahukan kepada kami dalam kitab-Nya bahwa Dia mempunyai) mata, kami tidak akan mengatakan hal itu. tidak akan mengatakan hal itu. (Seandainya Allah ﷻ tidak memberitahukan kepada kami dalam kitab-Nya bahwa Dia mempunyai) Dzat, kami tidak akan mengatakan hal itu. (Seandainya Allah ﷻ tidak memberitahukan kepada kami dalam kitab-Nya bahwa Dia mempunyai) Pendengaran, kami tidak akan mengatakan hal itu. kemudian beliau menyebutkan sifat-sifat Allah ﷻ lainnya seperti sifat Ilmu dan Kalam.”
Perdebatan yang ia sulut ternyata hanya menjadi bumerang bagi dirinya. Alih-aih membantu penyebaran pemikiran miringnya, akan tetapi justru semakin membongkar kedok kejahatan agama yang dianutnya. Sehingga dirinya diajukan kepada Khalifah. Pada waktu itu yang berkuasa ialah Khalifah Hisyam bin Abdil Malik yang terkenal dengan ketegasannya terhadap aliran sesat.
Ibnul Atsir menceritakan tentang peristiwa terbongkarnya kedok Ja’d bin Dinar, sehingga ia menjadi buronan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Konon pada saat itu telah tersebar berita bahwa Ja’d bin Dinar telah zindiq (kufur). Maimun bin Mihran pun telah menasihatinya, tetapi justru Ja’d bin Dinar membantahnya dengan mengatakan, ‘Aliran Syah Qubadz lebih aku cintai daripada agama yang engkau anut (Islam)’, kemudian Maimun bersaksi di hadapan Khalifah tentang ucapannya itu, hingga akhirnya urusan Ja’d bin Dinar diserahkan kepada Khalid bin Abdullah al-Qasriy untuk dibinasakan.