cookie

نحن نستخدم ملفات تعريف الارتباط لتحسين تجربة التصفح الخاصة بك. بالنقر على "قبول الكل"، أنت توافق على استخدام ملفات تعريف الارتباط.

مشاركات الإعلانات
466
المشتركون
لا توجد بيانات24 ساعات
لا توجد بيانات7 أيام
لا توجد بيانات30 أيام

جاري تحميل البيانات...

معدل نمو المشترك

جاري تحميل البيانات...

himpunan Fatwa adanb.pdf6.65 KB
Photo unavailableShow in Telegram
Fatwa No. 9: Hukum Bermain Biliar di Gedung Masjid Pertanyaan: Salah satu Islamic Center di Amerika mengirim sebuah pesan dalam bahasa Inggris yang mengatakan bahwa mereka akan mengadakan pesta dengan beberapa anak muda untuk makan bareng dan bermain biliar. Mereka akan membentuk tim untuk permainan ini dan memainkannya di dalam gedung masjid. Apakah bermain biliar ini diharamkan atau tidak? Mereka menunggu balasan Anda. Jika permainan ini haram, maka mereka akan membatalkan pesta. Jawaban: Segala puji bagi Allah. Selawat serta salam atas Rasulullah. Adapun kemudian; Pertama, mesti diketahui bahwa permainan apa saja yang mengandung suatu perkara yang diharamkan seperti patung atau mengarah kepada sesuatu yang diharamkan seperti membuat lalai dari mengerjakan salat atau membuat terlambat dari mengerjakannya atau menimbulkan kebencian di antara kaum muslimin atau menyebabkan pertikaian di antara mereka atau apa saja yang menimbulkan kerugian, maka permainan tersebut diharamkan, sebagaimana para ulama menetapkannya. Kedua, jika suatu permainan itu biasanya (mayoritasnya) mengarah kepada sesuatu yang diharamkan — meski tidak selalu mengarah ke sana —, maka permainan tersebut juga diharamkan karena keputusan hukum itu diambil dari apa yang terjadi biasanya (bukan diambil dari sesuatu yang jarang terjadi). Ketiga, adapun permainan ini secara zatnya, maka yang nampak padaku adalah lebih utama dan lebih baik untuk meninggalkannya dan saya tidak ragu akan hal ini karena timbangan beberapa perkara: 1. Permainan ini berasal dari orang-orang kafir dan di dalam permainan ini terdapat suatu keserupaan dengan mereka. 2. Di dalam hadis sahih dikatakan, كل لهو يلهو به ابن آدم فهو باطل إلا ثلاثة... “Setiap perkara yang melalaikan anak Adam merupakan perkara yang batil, kecuali tiga hal...” — hingga akhir hadis. Perkara yang batil di sini maksudnya bukanlah suatu perkara yang diharamkan, akan tetapi maksudnya adalah suatu perkara yang tidak ada manfaat di dalamnya. Pada permainan ini, tidak nampak adanya manfaat di dalamnya, bahkan terkesan membuang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak berfaedah. 3. Sesungguhnya para pengurus Islamic Center memiliki kewajiban akan sesuatu yang tidak diwajibkan bagi selain diri mereka, yaitu dengan tampil menjadi panutan bagi masyarakat. Ketika masyarakat melihat para pelaku kebaikan disibukkan dengan permainan seperti ini, maka mereka akan menjadi lebih menyimpang dengan perkara-perkara lain yang lebih tidak berfaedah. Keempat, semestinya masjid dibersihkan dari permainan ini dan dari permainan-permainan lainnya. Pada kasus ini, masjid malah menjadi seperti tempat bermain orang-orang kafir dengan menjadi gedung tempat bermain biliar. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk memuliakan masjid dan melarang menggunakan masjid untuk perkara-perkara duniawi seperti jual-beli atau bisnis. Di dalam masjid, diperbolehkan menyenandungkan syair-syair yang baik, berlatih melempar tombak, dan perkara-perkara bermanfaat lainnya yang telah terbukti akan kebolehannya, berbeda dengan semacam permainan-permainan tadi. Seperti inilah, wallahu Ta‘ala a‘lam. [Dijawab oleh Syaikh Nashir bin Hamd al-Fahd dan diterjemahkan oleh Febby Angga]
إظهار الكل...
Engkau hendaknya meninggalkan pekerjaan seperti ini yang mana pekerjaan tersebut mewajibkan engkau untuk bercampur baur dan bekerja sama dengan para wanita kafir dan berpakaian terbuka dan berada di tengah-tengah mereka karena sesungguhnya kondisi agama yang selamat tidak setara dengan keselamatan apa pun, sedang rusaknya kondisi agama merupakan musibah yang sangat besar, padahal hati seorang insan berada di Kedua tangan ar-Rahman (Allah) dan Ia Maha Berkehendak dalam membolak-balikkan hati. Sebagaimana dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauri, من أمن الله على دينه طرفة عين سلبه الله إياه “Barang siapa yang Allah amankan agamanya sekejap mata, maka Allah juga berkehendak untuk mencabutnya darinya.” Begitu juga al-Bukhari telah membuat sebuah bab pada Kitab al-Iman yang mana ia berkata di dalamnya, باب من الدين الفرار من الفتن “Termasuk bagian dari agama adalah menghindari fitnah.” Maka hindarilah fitnah ini dengan agamamu, Saudara yang mulia, karena ini lebih bermanfaat bagimu dan Allah akan memberi ganjaran bagimu di dunia maupun di akhirat. [Dijawab oleh Syaikh Nashir bin Hamd al-Fahd dan diterjemahkan oleh Febby Angga]
إظهار الكل...
Fatwa No. 8: Hukum Campur Baur dalam Rumah Sakit Pertanyaan: Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Semoga Allah membalas Anda dengan sebaik-baiknya balasan atas jasa Anda terhadap agama Islam dan kaum muslimin. Saya adalah seorang muslim yang tinggal di salah satu negara Eropa yang mana di dalamnya tidak ada seseorang yang dapat dijadikan rujukan dalam fatwa. Wallahul musta‘an. Saya memiliki sekumpulan pertanyaan. Saya memohon kepada Allah agar melimpahkan taufik kepada Anda sehingga Anda dapat memberikan jawaban secara cepat dan menyematkan nama syekh yang memberi jawaban dikarenakan masalah ini sangat penting, utamanya ketika seseorang ingin menyebarkan fatwa ini demi kepentingan umum. Pertanyaannya, saya adalah seorang dokter yang untuk sementara tinggal menetap di sini dalam rangka menuntut ilmu selama masa tertentu dan saya sangat ingin mencari kepastian akan hukum bercampur baur dengan para wanita di rumah sakit. Para wanita tadi adalah para wanita kafir dan berpakaian terbuka. Bagaimana batasan syar‘i akan hal ini? Lalu apa hukum melakukan jabat tangan dengan mereka atau dengan pasien wanita yang sakit? Sebagai informasi, saya — alhamdulillah — adalah seseorang yang multazim. Istri saya dan anak-anak saya juga bersama saya. Allah juga mengetahui bahwa saya tidaklah bertanya demi mencari-cari keringanan karena saya — alhamdulillah — telah menyelesaikan masalah ini dengan rekan-rekan kerja saya, akan tetapi masih terdapat masalah dengan para pasien yang sakit karena tidak bersalaman dengan para pasien wanita yang sakit mungkin — saya katakan: mungkin — dapat berdampak buruk pada level praktik pelayanan dan hubungan di antara rekan kerja di rumah sakit. Jawaban: Wajib untuk sebisa mungkin berdasarkan kemampuan menjauhkan diri dari para wanita dan menundukkan pandangan dari mereka karena di dalam ash-Shahih, ماتركت بعدي فتنة هي أضر على الرجال من النساء وإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء “Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita. Sesungguhnya fitnah pertama yang terjadi pada bani Israil adalah fitnah wanita.” Juga berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala, قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Mereka mesti menundukkan pandangannya.” [QS. an-Nur: 30] Juga berdasarkan hadis, اصرف بصرك فإن لك الأولى وليست لك الثانية “Pindahkan pandanganmu karena sesungguhnya engkau hanya bisa memandang sekali saja dan engkau tidak boleh memandang untuk yang kedua.” Dan juga hadis, والعين تزني وزناها النظر “Dan mata juga berzina dan zinanya adalah pandangannya.” Dan juga hadis-hadis lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Hazm telah menukilkan ijmak akan wajibnya menundukkan pandangan selain di hadapan mahram. Adapun berjabat tangan dengan mereka, maka ini tidak diperbolehkan berdasarkan hadis, لأن يطعن أحدكم بمخيط في رأسه خير له من أن يمس امرأة لا تحل له “Sesungguhnya andai kepala seseorang di antara kalian ditusuk dengan jarum itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” Dan juga hadis, إني لا أصافح النساء “Sesungguhnya aku tidak bersalaman dengan para wanita.” Dan juga hadis, ما مست يد رسول الله صلى الله عليه وسلم يد امرأة لا تحل له “Tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun bersentuhan dengan tangan wanita yang tidak halal baginya.” Dan juga hadis, واليد تزني وزناها البطش “Dan tangan juga berzina dan zinanya adalah dengan sentuhannya.” Para ulama mengartikan bahwa yang dimaksud dari hadis sebelumnya adalah menyentuh para wanita asing (yang bukan mahram) dengan tangan. Begitu juga dengan dalil-dalil lainnya. Sedang apa yang disebutkan oleh penanya di sini tidak dapat membenarkan perbuatan haram ini sama sekali. Saya mempunyai nasihat khusus.
إظهار الكل...
Fatwa No. 7: Jenis Kelamin Bayi yang Dicukut Rambutnya dan Kapan Itu Dilaksanakan Pertanyaan: Apakah mencukur rambut bayi yang baru lahir dilakukan terhadap bayi laki-laki dan bayi perempuan atau hanya bagi bayi laki-laki saja? Dan kapan ini dilakukan? Jawaban: Berkenaan tentang mencukur rambut bayi, maka ini adalah sunah dalam segala macam kondisi. Adapun apakah ini untuk bayi laki-laki atau untuk bayi perempuan, maka para ulama berbeda pendapat tentangnya. Yang benar, in syaa Allahu Ta‘ala, ini berlaku untuk bayi laki-laki maupun bayi perempuan karena dua aspek: Aspek pertama, makna akikah secara bahasa. Makna akikah secara bahasa pada asalnya adalah rambut yang terdapat pada bayi laki-laki yang baru saja lahir, sebagaimana dikatakan oleh al-Ashma‘i dan Ibnu Qutaibah. Domba yang disembelih atas namanya disebut sebagai akikah karena rambut bayi tadi dicukur untuknya. Artinya, selama bayi perempuan juga diakikahi, maka rambut kepalanya juga dicukur. Aspek kedua, di dalam hadis dikatakan, كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويماط عنه الأذى “Setiap bayi tergadai dengan akikahnya, akikah itu disembelih pada hari yang ketujuh dari hari kelahirannya, dan dihilangkan darinya bahaya.” Para ulama mengartikan makna kalimat 'dihilangkan darinya bahaya' sebagai mencukur rambut, sedang bayi perempuan itu juga diakikahi pada hari ketujuh, maka mencukur rambutnya juga masuk ke dalam bagian dari hukum ini karena keduanya memiliki ilat yang sama. Begitu juga terdapat beberapa riwayat dengan sanad-sanad yang mursal bahwasanya Fathimah radhiyyallahu ‘an ha mencukur rambut al-Hasan, al-Hussain, Zainab, dan ‘Ummu Kultsum. Ia tidak membedakan mereka, kecuali pada jumlah kambing yang digunakan untuk akikah, di mana bayi laki-laki diakikahi dengan dua kambing dan bayi perempuan diakikahi dengan satu kambing, sedang yang menjadi ilat dari itu semua adalah sama. Wallahu a‘lam. Adapun waktu mencukur rambut, maka ia sama dengan waktu akikah, sebagaimana terdapat di dalam hadis, yaitu hari ketujuh. Wallahu Ta‘ala a‘lam. Selawat Allah serta salam tercurah atas Nabi kita, Muhammad, dan atas keluarganya serta para sahabatnya seluruhnya. [Dijawab oleh Syaikh Nashir bin Hamd al-Fahd dan diterjemahkan oleh Febby Angga]
إظهار الكل...
Fatwa No. 6: Penjelasan Hukum Menggunakan Dasi Pertanyaan: Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah. Selawat serta salam tercurah atas Rasulullah. Adapun kemudian; Saya bertanya tentang hukum menggunakan dasi disertai penjelasannya. In syaa Allah, Anda akan mendapatkan pahala. Jawaban: Tidak diperbolehkan menggunakannya karena ia termasuk ke dalam menyerupai orang-orang kafir. Dalam hadis sahih, من تشبه بقوم فهو منهم “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka.” Begitu juga dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Am bin al-Ash, dalam ash-Shahih, ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melihat dua pakaian berwarna kuning, maka beliau bersabda, إن هذه من ثياب الكفار فلا تلبسها “Sesungguhnya ini merupakan pakaian orang-orang kafir, maka janganlah engkau memakainya.” Yang menjadi sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menggunakan pakaian tadi adalah karena pakaian tadi merupakan pakaian orang-orang kafir. Begitu juga dalam hadis Abu Umamah yang diriwayatkan secara marfuk, تسرولوا واتزروا خالفوا أهل الكتاب “Pakailah celana dan pakailah sarung untuk menyelisihi Ahlul Kitab.” Artinya, menyelisihi mereka dalam berpakaian merupakan di antara perkara yang dituntut oleh syariat. Begitu juga dalam riwayat al-Bukhari, ‘Umar bin al-Khaththab menulis kepada kaum muslimin di Khurasan, إياكم والتنعم وزي أهل الشرك “Jauhilah kalian dari hidup bermewah-mewahan dan jauhilah pula pakaian para pelaku kesyirikan.” Hadis-hadis tentang perkara ini juga cukup banyak. Adapun tersebarnya pakaian orang-orang kafir di antara kaum muslimin sampai-sampai orang mengatakan bahwa pakaian-pakaian tadi sudah bukan lagi menjadi suatu ciri khusus dari mereka sehingga mengenakannya bukan lagi terhitung sebagai perbuatan tasyabuh (menyerupai) terhadap mereka, maka ini tidak ada nilainya sama sekali karena empat hal: Pertama, pakaian-pakaian tadi tidaklah tersebar di antara kaum muslimin selain melalui orang-orang kafir. Itulah mengapa pakaian-pakaian tadi dinamakan sebagai pakaian Barat, jas Barat, dan yang semisalnya. Kedua, andai kita mengatakan bolehnya mengenakan pakaian ini, maka sama saja kita telah membatalkan hadis-hadis yang melarang mengenakan pakaian yang menyerupai orang-orang kafir dan perkara ini sekarang sangat nampak dikarenakan masyarakat sekarang semuanya — kecuali yang dirahmati oleh Allah — berpakaian mengenakan pakaian orang-orang Eropa. Ketiga, sesungguhnya kaum muslimin menyelisihi orang-orang kafir dalam cara mereka berpakaian dan berpenampilan itu dituntut dalam syariat, sebagaimana diketahui oleh setiap orang yang memperhatikan dalil-dalil yang telah disebutkan dalam bab ini, karena keserupaan penampilan lahiriah akan menyebabkan masalah di dalam hati, sebagaimana ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala. Seorang muslim mesti membedakan dirinya dari orang-orang kafir dalam cara berpenampilan. Oleh karena itu, dahulu Khulafa ar-Rasyidin dan orang-orang yang datang sesudahnya mewajibkan Ahludz Dzimmah (orang-orang kafir zimmi) untuk membedakan diri mereka dan melarang mereka menyerupai kaum muslimin dalam cara berpakaian. Keempat, sesungguhnya orang-orang yang benar, para pelaku kebaikan, para ahli ilmu, dan Ahlus Sunnah di zaman ini meski mereka berada di negeri yang berbeda-beda, akan tetapi mereka tidak mengenakan pakaian orang-orang kafir. Mereka bahkan tetap menggunakan pakaian kaum muslimin. Dengan ini, maka pelajaran dapat diambil dari mereka, bukan dari orang-orang fasik. Wallahu Ta‘ala a‘lam. [Dijawab oleh Syaikh Nashir bin Hamd al-Fahd dan diterjemahkan oleh Febby Angga]
إظهار الكل...
Fatwa No. 5: Hukum Mencabut Bulu Alis Pertanyaan: Apakah mencabut bulu alis diperbolehkan? Saya telah mengikuti kursus salon kecantikan dan selama di situ saya mempelajari dasar-dasar ilmu salon. Di sana terdapat pembelajaran dalam merapikan alis, yaitu dengan mencabutnya, maka apakah diperbolehkan bagi saya untuk mempelajarinya dan melakukannya pada suatu boneka meski saya tidak akan melakukannya lagi setelah ini? Semoga Allah membalas Anda dengan surga Firdaus yang tertinggi. Jawaban: Mencabut bulu alis termasuk ke dalam perbuatan an-namsh (mencukur bulu alis untuk tujuan kecantikan), sebagaimana ditetapkan oleh banyak ulama, maka perbuatan yang demikian ini tidak diperbolehkan. Begitu juga mempelajari an-namsh dan menyetujuinya juga tidak diperbolehkan, bahkan wajib untuk mengingkarinya atau keluar dari kursus tersebut. [Dijawab oleh Syaikh Nashir bin Hamd al-Fahd dan diterjemahkan oleh Febby Angga]
إظهار الكل...
Fatwa No. 4: Bolehkah Perempuan Berpergian Tanpa Mahram untuk Melanjutkan Studi ke Kota Lain? Pertanyaan: Apakah diperbolehkan perempuan melakukan safar (berpergian) dari suatu kota ke kota yang lain tanpa ditemani seorang mahram disebabkan karena kondisi darurat? Perempuan tadi hendak melanjutkan studi (pembelajaran) ke kota lain dengan beberapa orang yang merupakan mahramnya mengantarnya sampai ke pesawat dan pamannya akan menyambutnya di bandara. Jawaban: Yang demikian ini tidak diperbolehkan. Terdapat banyak hadis yang melarang perbuatan ini. Dalam ash-Shahih, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan melakukan safar tanpa ditemani seorang mahram, seorang laki-laki mengatakan kepada beliau, يا رسول الله إني اكتتبت في غزوة كذا وإن امرأتي انطلقت للحج “Wahai Rasulullah, sesungguhnya nama saya telah terdaftar untuk ikut dalam peperangan ini, namun istriku hendak berpergian untuk melaksanakan haji.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, انطلق فحج معها “Maka pergilah berhaji bersamanya.” Maka, lihatlah hadis ini. Laki-laki tadi telah terdaftar untuk ikut dalam peperangan sehingga ia wajib untuk menunaikannya, akan tetapi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menemani istrinya dikarenakan perkara ini lebih besar kewajibannya. Beliau tidak bertanya kepadanya, apakah istrinya sudah pernah berhaji atau tidak? Beliau juga tidak bertanya, apakah ia mempunyai teman yang dapat dipercaya (untuk menemani perjalanan) atau tidak? Maka, hadis ini menunjukkan akan wajibnya keberadaan seorang mahram ketika seorang perempuan melakukan safar. Adapun perkara perempuan melakukan studi (pembelajaran), maka perkara ini bukan termasuk kondisi darurat, seperti yang disebutkan oleh penanya, karena suatu kondisi dapat disebut sebagai darurat atau tidak bukanlah berdasarkan penilaian manusia, akan tetapi ditetapkan oleh syariat. Safarnya perempuan sendirian dengan alasan hendak melanjutkan studi (pembelajaran) merupakan kemungkaran yang sangat besar dan sangat berbahaya terhadap kondisi agamanya dan kehormatannya. Kami memohon kepada Allah agar memberi perlindungan, menjaga kesucian, dan melimpahkan keselamatan kepada kami, kepada kalian, dan kepada kaum muslimin seluruhnya. [Dijawab oleh Syaikh Nashir bin Hamd al-Fahd dan diterjemahkan oleh Febby Angga]
إظهار الكل...
Fatwa No. 3: Bolehkah Seorang Gadis Mewarnai Rambutnya? Pertanyaan: Apakah diperbolehkan bagi seorang anak perempuan yang belum menikah mewarnai rambutnya ketika orang tuanya memperbolehkannya untuk melakukan hal tersebut? Jawaban: Pada masalah ini terdapat dua keadaan: Kondisi pertama, jika ia mewarnai rambutnya dengan semir hitam, maka ini tidak diperbolehkan, baik bagi orang yang sudah menikah maupun yang belum, berdasarkan keumuman hadis-hadis yang berisi larangan mewarnai rambut dengan semir hitam. Kondisi kedua, jika ia mewarnai rambutnya dengan warna selain hitam, maka ini diperbolehkan, baik bagi orang yang sudah menikah maupun yang belum, karena tidak terdapat dalil yang melarangnya, seperti mengoleskan rambut dengan henna (inai) dan yang semisalnya yang diriwayatkan dari salaf, dengan syarat tidak menyerupai dengan orang-orang kafir. [Dijawab oleh Syaikh Nashir bin Hamd al-Fahd dan diterjemahkan oleh Febby Angga]
إظهار الكل...