cookie

نحن نستخدم ملفات تعريف الارتباط لتحسين تجربة التصفح الخاصة بك. بالنقر على "قبول الكل"، أنت توافق على استخدام ملفات تعريف الارتباط.

avatar

Dakwah Sunnah

Menebar cahaya sunnah

إظهار المزيد
لم يتم تحديد البلدلم يتم تحديد اللغةالفئة غير محددة
مشاركات الإعلانات
470
المشتركون
لا توجد بيانات24 ساعات
لا توجد بيانات7 أيام
لا توجد بيانات30 أيام

جاري تحميل البيانات...

معدل نمو المشترك

جاري تحميل البيانات...

# Istri Pinjam Uang Suami [Rubrik: Sekedar Sharing] Islam telah memberikan garis pemisah yang jelas antara harta suami dan harta istri dalam sebuah rumah tangga. Di sisi lain, Islam juga mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya. Artinya, keduanya memiliki hak atas masing-masing hartanya, namun dalam harta suami ada hak istri, sedangkan harta istri adalah miliknya sendiri. Sehingga andai mereka berdua bercerai – wal ‘iyadzu billah – tidak perlu ada yang namanya pembagian harta gono-gini, karena harta istri adalah miliknya sendiri, sedangkan dalam harta suami ada hak istri. Lantas, bagaimana dengan suami yang memberikan pinjaman harta kepada istrinya? Maka kita lihat, niatnya meminjam untuk kebutuhan apa? Jika diperuntukkan untuk kebutuhan makan dan berpakaian maka yang seperti ini bukanlah pinjaman, melainkan sebuah bentuk nafkah yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya. Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami kepada istrinya. Lantas beliau bersabda, أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ “Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian.” (HR. Abu Daud no. 2142, shahih) Hadits ini menjelaskan bagaimana kaedah dalam memberikan nafkah, khususnya pada kebutuhan-kebutuhan primer/pokok. Jika suami makan enak maka sepatutnya istrinya juga diberi makanan yang enak, jika suami berpakaian bagus maka istrinya juga diberi pakaian yang bagus, demikian seterusnya. Sehingga kalau seorang istri berniat meminjam uang ke suaminya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka dia urungkan niatnya, karena suaminya wajib memberikannya secara cuma-cuma sebagai nafkah dan justru berdosa jika tidak memberikannya. Jadi, sebenarnya istri tidak harus pinjam, suamilah yang harus peka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok istrinya, karena dia akan dimintai pertanggungjawabannya. Bahkan ketika awal kali seorang suami menikahi istrinya, disyaratkan dia sudah memiliki “al-baa’ah” yaitu kemampuan untuk memberikan nafkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki al-baa’ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400) Sebagian ulama menafsirkan kata “al-baa’ah” dengan kemampuan memberikan nafkah, sebagian lain menafsirkan dengan kemampuan berjimak. Namun pendapat yang terkuat adalah tafsiran yang pertama yaitu kemampuan memberikan nafkah. Tafsir kedua dinilai kurang kurang tepat, karena seruan hadits ini adalah kepada para pemuda. Pemuda hampir bisa dipastikan memiliki kemampuan berjimak, bahkan sebagiannya membara. Kesimpulannya, harus dilihat sang istri berniat meminjam untuk apa, jika untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, maka suami wajib memberinya secara cuma-cuma sebagai nafkah. Namun jika digunakan untuk keperluan bisnis atau sejenisnya maka statusnya mungkin bisa sebagai pinjaman. Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma'had Al Ilmi Yogyakarta) ___
إظهار الكل...
Fikih Doa Ketika Sujud Pertanyaan: ‘Afwan ustadz, izin bertanya Bolehkah membaca do‘a ketika sujud dalam semua raka‘at shalat, caranya seperti contoh berikut ini: Do‘a sujud 3x [kemudian] Do‘a sapu jagad 3x [kemudian] Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad [kemudian] Aamiin Jazaakallahu khayran atas jawabannya Baarakallaahu fiik. (Ditanyakan oleh Sahabat BIAS via Grup Whatsapp Bimbingan Islam) Jawaban: Kondisi sujud adalah salah satu di antara waktu mustajab untuk berdoa, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.” (H.R Muslim). Hukum Berdoa dengan Potongan Ayat Al-Quran Ketika Sujud Jika seseorang berdoa di kala sujudnya dengan salah satu potongan ayat al-Quran, tidak mengapa jika itu diniatkan sebagai doa, bukan sebagai bacaan di kala sujud, berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam: “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya”. (H.R Bukhari & Muslim). Al-Imam al-Zarkasyi mengatakan: “Tempat dimakruhkannya adalah tatkala memaksudkan bacaan Quran itu sebagai bacaan sujud, namun jika ia meniatkannya sebagai doa dan pujian maka selayaknya hukumnya menjadi sama (boleh) seperti ketika membaca ayat al-Quran di waktu qunut”. (Tuhfatu al-Muhtaj 2/61). Hukum Membaca Shalawat dalam Sujud Adapun hukum membaca solawat tatkala sujud, Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: هذا من أسباب الإجابة، يحمد الله ويثني عليه ويصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ولو في السجود ولو في آخر الصلاة ثم يدعو، لأن هذا من أسباب الإجابة “Ini adalah salah satu faktor dikabulkannya doa, memuja dan memuji Allah kemudian bershalawat kepada Nabi walaupun di waktu sujud, walau di akhir solat kemudian dia berdoa, karena hal ini adalah di antara faktor dikabulkannya doa”. Dari sedikit paparan di atas, kita simpulkan bahwa membaca ayat al-Quran di kala sujud jika diniatkan sebagai doa adalah boleh hukumnya, sebagaimana bershalawat kepada Nabi (ﷺ) juga boleh, dan justru hal tersebut adalah di antara faktor dan sarana terkabulnya doa. Wallahu a’lam. Dijawab dengan ringkas oleh: Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله Jumat, 30 Rabiul Awal 1443 H/ 5 November 2021 M Referensi: https://bimbinganislam.com/fikih-doa-ketika-sujud/
إظهار الكل...
Derajat Hadits Nabi Mencium Istrinya Lalu Tidak Wudhu Lagi Diriwayatkan oleh Abu Daud (179) dalam Sunan-nya, “Utsman bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Waki’ menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Al A’masy menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Dari Habib, dari Urwah, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium salah seorang istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.’ Urwah lalu berkata, ‘Siapa lagi jika bukan engkau wahai Aisyah.’ Kemudian Aisyah tertawa.” Abu Daud mengatakan, ‘Demikian juga diriwayatkan dari Zaidah dan Abdul Hamid Al Himmani dari Sulaiman Al A’masy.'” Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (502), “Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ali bin Muhammad menuturkan kepada kami, mereka berdua berkata, ‘Waki’ menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Al A’masy menuturkan kepada kami, ia berkata, ‘Dari Habib bin Abi Tsabit, dari Urwah bin Az Zubair, dari Aisyah Radhiallahu’anha, ‘Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium sebagian istrinya (yaitu Aisyah sendiri), kemudian beliau keluar untuk salat dan tidak berwudu lagi.’ Urwah lalu berkata, ‘Siapa lagi jika bukan engkau wahai Aisyah.’ Kemudian Aisyah tertawa.”'” Dalam riwayat Ibnu Majah ini disebutkan secara jelas bahwa Habib adalah Habib bin Abi Tsabit dan Urwah adalah Urwah bin Az Zubair. Selengkapnya: https://muslim.or.id/71280-derajat-hadits-nabi-mencium-istrinya-lalu-tidak-wudhu-lagi.html
إظهار الكل...

# Karyawan Muslim Jangan Mau Disuruh Memakai Topi Sinterklas . Saudaraku yang dirahmati Allah, apabila anda diperintahkan atau dipaksa untuk memakai topi sinterklas oleh bos atau atasan anda, jangan mau atau pasrah saja menerima, karena ini masalah aqidah yang sangat penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. . Hal yang Perlu Diperhatikan dan Dilakukan . 1. Anda berhak menolak dengan alasan agama, karena MUI telah mengeluarkan fatwa larangan memakai atribut keagamaan non-muslim, yaitu Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim . 2. Anda bisa berbicara baik-baik dengan bos atau atasan anda, terkait hal ini. Dengan cara & diplomasi yang baik, umumnya manusia akan menerima diplomasi yang baik . 3. Hal ini adalah masalah aqidah yang cukup penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena topi sinterklas adalah ciri khas atribut agama lain saat ini . 4. Walapun kita merasa itu hanya sekedar formalitas dan kita meyakini tidak setuju, akan tetapi ini masalah aqidah. Tentu agama lain tidak ingin, apabila karyawan non-muslim dipaksa memakai jilbab saat suasana lebaran. . 5. Tentu hati kecil anda menolak, tidak bisa dibayangkan maut datang dalam keadaan anda memakai topi sinterklas (karena maut bisa datang kapan saja) . Adi bin Hatim berkata: . “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan pada leherku terdapat salib (yang terbuat) dari emas, (lantas) beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Wahai ‘Adi, buanglah darimu watsan/berhala ini!’. [HR At Tirmidzi no. 3095, Dihasankan oleh Al-Albani] Walaupun ada yang beralasan: “Topi sinterklas bukanlan ajaran kristen, tapi dongeng di masa lalu dan bukan tanda khas agama kristen” Kita jawab: yang menjadi patokan adalah saat ini. Semua manusia paham bahwa topi sinterklas identik dengan natal dan yang terpenting topi sinterklas dipakai untuk menyambut natal kan? Apakah seorang muslim menyambut natal? Mendekati perayaan orang kafir saja tidak diperbolehkan apalagi menyambutnya. Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu mengingatkan kita agar menjauhi perayaan hari raya orang kafir. Jika mendekat saja saat itu dilarang, bagaimana dengan memakai atribut agama mereka dan memberi selamat? Tentu juga dilarang (saat itu ucapan selamat harus mendatangi, tidak bisa jarak jauh dengan bantuan alat komunikasi). Beliau berkata, اجتنبوا أعداء الله في عيدهم “Jauhilah orang-orang kafir saat hari raya mereka” [HR. Baihaqi] Selain itu tidak mau memakai topi sinterklas tidak akan merusak toleransi. Toleransi adalah membiarkan mereka melaksanakan ibadah, tidak boleh diganggu dan dihalangi akan tetapi kita tidka ikut menyambut atau membantu sedikitpun dan dalam bentuk apapun. Allah berfirman, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al Kafirun: 6) Secara aturan negara juga, menteri agama sebelumnya telah menjelaskan bahwa tidak memakai topi sinterklas adalah bentuk toleransi. Misalnya berita sebagai berikut, Menag: Bertoleransi Bukan untuk Menuntut Pihak Lain Demikian semoga bermanfaat. @ Lombok, Pulau Seribu Masjid Penyusun: Raehanul Bahraen Artikel www.muslim.or.id https://muslim.or.id/53312-karyawan-muslim-jangan-mau-disuruh-memakai-topi-sinterklas.html
إظهار الكل...
Terlarangnya Wanita Sering Ziarah Kubur Pertanyaan: Ada seorang muslimah yang ibunya wafat sekitar 4 bulan yang lalu. Karena rindu dengan ibunya, hampir setiap satu minggu sekali beliau mengunjungi makam ibunya. Tidak ada ritual aneh-aneh, hanya mengucapkan salam dan membacakan doa. Beliau memilih mengunjungi makam karena terdapat riwayat yang menyatakan bahwa mayit mengetahui orang hidup yang menziarahinya dan merasa senang dengannya. Pertanyaannya, apakah hal tersebut (menziarahi makam seminggu sekali) dibolehkan di dalam Islam? (Dari Fulan Anggota Grup Whatsapp Sahabat BiAS) Jawaban: 1. Hukum Ziarah Kubur Bagi Wanita Hukum ziarah kubur bagi wanita diperselisihkan oleh para ulama sebagian menyatakan haram, sebagian lagi menyatakan makruh dan sebagian yang lain menyatakan boleh. Pendapat yang benar, wallahu a’lam, bahwa ziarah kubur bagi wanita yang terlarang adalah ketika ia SERING sekali berziarah, ketika itulah ziarah menjadi HARAM. Namun jika hanya SESEKALI maka DIPERBOLEHKAN. Sedang mengiringi jenazah bagi wanita hukumnya makruh, jika ia tinggalkan maka baginya pahala, dan jika ia lakukan ia tidak mendapatkan dosa. 2. Hukum Ziarah Kubur Setiap Pekan Berkaitan dengan pertanyaan di atas tentang seorang wanita yang menziarahi kubur ibunya setiap pekan kami tidak menganjurkan dan sebaiknya dihentikan. Karena itu termasuk sering, hikmah dari dilarangnya wanita terlalu sering ziarah kubur adalah biasanya wanita itu memiliki perasan yang peka. Mudah menangis, mudah meratapi mayit padahal perkara-perkara tersebut dilarang di dalam agama Islam. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang diratapi maka dia disiksa karena ratapan yang ditujukan kepadanya.” (HR. Bukhari : 1291, Muslim : 927). Belum lagi jika kita membaca keterangan sebagian ulama yang mengharamkan secara mutlak ziarah kubur bagi wanita. Maka mengurangi intensitas ziarah kubur adalah pilihan bijaksana dalam hal ini. Syeikh Muhammad Nasiruddin Al Albani menyatakan: “Anggap saja bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hadis “Allah melaknat wanita-wanita yang (suka) berziarah kubur” setelah beliau mengizinkan pria dan wanita berziarah kubur. Tapi bagaimana dengan hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah memberikan izin kepada Aisyah untuk berziarah kubur? Apakah izin Rasulullah ini keluar setelah hadis laknat di atas? Atau sebelumnya? Pendapat yang kuat menurut kami adalah bahwa izin Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam keluar sebelum hadis, “Allah melaknat wanita-wanita yang (suka) berziarah kubur.” Kesimpulan Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa yang dilarang adalah perempuan yang berlebih-lebihan dan terlalu sering berziarah. Sangat tidak mungkin ziarah ini haram bagi wanita, sementara Sayyidah Aisyah kerap kali berziarah kubur, walaupun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah meninggal.” (Sumber: Fatwa-Fatwa Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Media Hidayah, 1425 H – 2004 M, melalui konsultasisyariah.com). Wallahu a’lam. Dijawab dengan ringkas oleh: Ustadz Abul Aswad Al-Bayati, BA. حفظه الله Rabu, 4 Rabiul Akhir 1443 H/10 November 2021 M Referensi: https://bimbinganislam.com/terlarangnya-wanita-sering-ziarah-kubur/
إظهار الكل...
Terlarangnya Wanita Sering Ziarah Kubur | Bimbinganislam.com

Apa hukum wanita sering ziarah kubur? Bisa kita simpulkan bahwa terlarang bagi perempuan untuk ziarah kubur terlalu sering/berlebihan.

Junub Ketika Sakit, Bolehkah Ganti Tayamum? Pertanyaan: Semoga Allah menjaga ustadz dan keluarga. Izin bertanya, Ustadz. Apakah di saat sakit kemudian kita junub cukup dengan bertayamum saja ketika hendak shalat. Terus bagaimana dengan shalat selanjutnya apakah bertayamum lagi ataukah sudah bisa berwudu? Terima kasih jazakumullahu khairan wa barakallahu fiikum. (Dari Fulan Anggota Grup Whatsapp Sahabat BiAS) Jawaban: Jika seseorang sakit, kemudian junub dan tidak memungkinkan baginya menyentuh air, seperti mandi dan berwudhu dengan air, karena sakitnya akan bertambah parah menurut keterangan dokter ahli, atau kuat praduga akan mendatangkan mudharat yang lebih besar berdasarkan pengalaman yang ada, maka boleh baginya bertayamum. Saat khawatir menggunakan air akan menimbulkan bahaya atau sakit akan bertambah parah, terdapat dalam penjelasan hadits berikut; Dari Jabir, ia berkata, “Kami pernah keluar pada saat safar, lalu seseorang di antara kami ada yang terkena batu dan kepalanya terluka. Kemudian ia mimpi basah dan bertanya pada temannya, “Apakah aku mendapati keringanan untuk bertayamum?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendapati padamu adanya keringanan padahal engkau mampu menggunakan air.” Orang tersebut kemudian mandi (junub), lalu meninggal dunia. Ketika tiba dan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menceritakan kejadian orang yang mati tadi. Beliau lantas bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membinasakan mereka. Hendaklah mereka bertanya jika tidak punya ilmu karena obat dari kebodohan adalah bertanya. Cukup baginya bertayamum dan mengusap lukanya.” (HR. Abu Daud, no. 336, Ibnu Majah, no. 572 dan lainnya. Ahli hadits Syaikh Al Albani menghukumi bahwa hadits ini hasan selain perkataan ‘cukup baginya bertayamum’) Apakah Satu tayamum Boleh Digunakan Untuk Lebih Dari Satu Kali Shalat Fardhu/Sunnah? Para ulama berbeda pendapat tentang apakah tayamum itu statusnya sama dengan wudhu ataukah tidak. Karena jawaban akhirnya akan berimplikasi pada beberapa amalan ibadah. Bila statusnya sama, maka berarti sekali tayamum boleh digunakan untuk beberapa kali shalat selama belum batal, sebagaimana pada hukum wudhu. Wallahu A’lam, kami condong pada pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau berfatwa; “Dan boleh hukumnya bagi seseorang melakukan beberapa shalat (wajib maupun sunnah) dengan menggunakan satu tayamum, sebagaimana boleh baginya melakukan beberapa kali shalat (wajib maupun sunnah) dengan satu wudhu saja, satu kali mandi berdasarkan pendapat yang lebih nampak benar dari 2 pendapat ulama yang ada. (Majmu’ Fatawa : 12/223). Wallahu Ta’ala A’lam. Dijawab dengan ringkas oleh: Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله Kamis, 12 Rabiul Akhir 1443 H/18 November 2021 M Referensi: https://bimbinganislam.com/junub-ketika-sakit-bolehkah-ganti-tayamum/
إظهار الكل...
Junub Ketika Sakit, Bolehkah Ganti Tayamum? | Bimbinganislam.com

Junub Ketika Sakit, Bolehkah Ganti Tayamum? Jika seseorang sakit, kemudian junub dan tidak memungkinkan baginya menyentuh air, maka boleh bertayamum.

# Pasti Pernah Berdosa, Apakah Manusia Semuanya Masuk Neraka Dahulu? [Rubrik: Sekedar Sharing] Terdapat sebuah keyakinan yang tersebar di tengah banyak orang bahwa semua orang muslim akan mampir ke neraka terlebih dahulu karena semua orang pasti tidak luput dari yang namanya dosa. Dia akan dimasukkan ke neraka untuk dibersihkan dosa-dosanya, setelah bersih barulah dia dimasukkan ke dalam surga. Keyakinan ini muncul didasari oleh pemahaman terhadap sebuah ayat di dalam Al-Quran, Allah berfirman, وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا “Tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71) Namun pendapat yang lebih mendekati kebenaran bahwasanya yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah khusus orang-orang kafir. Pendapat ini sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan, “وإن منكم إلا واردها” يعني: الكفار “Tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu.” Maksudnya adalah orang kafir. (Ibnu Katsir, 5/283) Sehingga pemahaman bahwa semua orang muslim pasti masuk ke neraka terlebih dahulu adalah pemahaman yang keliru. Karena bisa jadi dosa tersebut diampuni oleh Allah, apakah dengan tauhid yang dia miliki, adanya syafaat untuk dia, atau rahmat Allah yang menyeliputinya. Setelah itu, sekiranya dia masih memiliki dosa, maka dosa dan keburukannya akan ditimbang terlebih dahulu dengan kebaikan yang dia miliki. Jika timbangan kebaikannya lebih berat dari timbangan keburukannya maka dia akan dimasukkan ke dalam surga. Tentu tidak ada dari kita yang ingin mencicipi neraka walaupun sesaat saja, melainkan kita semua ingin masuk ke dalam surga secara langsung. Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK
إظهار الكل...
# Pasti Pernah Berdosa, Apakah Manusia Semuanya Masuk Neraka Dahulu? [Rubrik: Sekedar Sharing] Terdapat sebuah keyakinan yang tersebar di tengah banyak orang bahwa semua orang muslim akan mampir ke neraka terlebih dahulu karena semua orang pasti tidak luput dari yang namanya dosa. Dia akan dimasukkan ke neraka untuk dibersihkan dosa-dosanya, setelah bersih barulah dia dimasukkan ke dalam surga. Keyakinan ini muncul didasari oleh pemahaman terhadap sebuah ayat di dalam Al-Quran, Allah berfirman, وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا “Tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71) Namun pendapat yang lebih mendekati kebenaran bahwasanya yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah khusus orang-orang kafir. Pendapat ini sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan, “وإن منكم إلا واردها” يعني: الكفار “Tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu.” Maksudnya adalah orang kafir. (Ibnu Katsir, 5/283) Sehingga pemahaman bahwa semua orang muslim pasti masuk ke neraka terlebih dahulu adalah pemahaman yang keliru. Karena bisa jadi dosa tersebut diampuni oleh Allah, apakah dengan tauhid yang dia miliki, adanya syafaat untuk dia, atau rahmat Allah yang menyeliputinya. Setelah itu, sekiranya dia masih memiliki dosa, maka dosa dan keburukannya akan ditimbang terlebih dahulu dengan kebaikan yang dia miliki. Jika timbangan kebaikannya lebih berat dari timbangan keburukannya maka dia akan dimasukkan ke dalam surga. Tentu tidak ada dari kita yang ingin mencicipi neraka walaupun sesaat saja, melainkan kita semua ingin masuk ke dalam surga secara langsung. Artikel www.muslimafiyah.com (Asuhan Ustadz dr. Raehanul Bahraen, M.Sc., Sp. PK, Alumnus Ma’had Al Ilmi Yogyakarta) ___ Gabung grop WA artikel dakwah dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK Insyaallah dikirim artikel setiap h
إظهار الكل...
Hukum Shalat Tidak Menghadap ke Arah Kiblat Jika ada jamaah yang mendirikan salat dengan menghadap selain arah kiblat, bagaimanakah hukum salat tersebut? Jawaban: Masalah ini tidak bisa terlepas dari dua kondisi: Kondisi pertama, mereka berada di suatu tempat yang tidak memungkinkan untuk mengetahui arah kiblat. Misalnya, mereka sedang di tengah perjalanan (safar), atau ketika kondisi sedang mendung, dan mereka tidak bisa mendapatkan petunjuk ke manakah arah kiblat (misalnya, tidak ada penduduk setempat yang bisa ditanyai, pent.). Ketika mereka salat dan sudah berusaha mencari arah kiblat, kemudian jelaslah bagi mereka bahwa mereka menyimpang dari arah kiblat, maka hal itu tidak masalah (tidak perlu mengulang salat, pent.). Hal ini karena mereka telah bertakwa kepada Allah Ta’ala sesuai dengan kemampuan mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghabun: 16). Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337). Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan masalah ini secara khusus, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 115). Kondisi kedua, mereka berada di suatu tempat yang masih memungkinkan untuk bertanya tentang (arah) kiblat. Akan tetapi, mereka menyepelekan atau menganggap remeh (tidak mau bertanya, padahal memungkinkan bagi mereka untuk bertanya, pent.). Dalam kondisi semacam ini, mereka wajib mengqadha’ (mengulang) salat yang telah mereka kerjakan ketika ternyata mereka salat tidak menghadap ke arah kiblat. Baik mereka mengetahui salah arah tersebut sebelum atau setelah waktu salat tersebut berakhir. Selengkapnya: https://muslim.or.id/70980-hukum-shalat-tidak-menghadap-ke-arah-kiblat.html
إظهار الكل...
اختر خطة مختلفة

تسمح خطتك الحالية بتحليلات لما لا يزيد عن 5 قنوات. للحصول على المزيد، يُرجى اختيار خطة مختلفة.