203; I’lamul Muwaqqi’in, 2/4—5; asy-Syarhul Mumti’, 12/38—44; al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/283—284)
*Syarat Nikah*
Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut.
Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas.
Keridhaan dari setiap pihak.
Adanya wali bagi calon mempelai wanita.
Persaksian atas akad nikah tersebut.
*SYARAT PERTAMA:Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas.*
Jadi, tidak cukup apabila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
*SYARAT KEDUA:Keridhaan dari setiap pihak.*
Dalilnya ialah hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu secara marfu’,
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat. Tidak boleh pula seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Berbeda halnya apabila si wanita masih kecil, belum balig; walinya boleh menikahkannya tanpa seizinnya.
https://t.me/PenaIlmuSalafiyin
*SYARAT KETIGA: Adanya wali bagi calon mempelai wanita.*
Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. al-Khamsah kecuali an-Nasai, dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa no. 1839)
Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
*Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali, nikahnya batil; tidak sah.*
Demikian pula apabila seorang wanita menikahkan wanita lain.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih (kuat).
Diriwayatkan hal ini dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Aisyah radhiallahu anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Said ibnul Musayyab, al-Hasan al-Bashri, Umar bin Abdil Aziz, Jabir bin Zaid, ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah al-Anbari, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Ubaid rahimahumullah. Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab.
💎 Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat di atas. Beliau berpandangan bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masailil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673; al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/284—285)
*Siapakah yang Berhak Wali dalam Pernikahan?*
Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya.
Jumhur ulama, di antara mereka adalah Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya, berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki. Jadi, wali nikah bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu, melainkan dari pihak keluarga ayah/laki-laki, seperti ayah, kakek dari pihak ayah[3], saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Dengan demikian, ayahnya ibu (kakek dari jalur ibu), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan. Sebab, mereka bukan ‘ashabah, melainkan dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235; al-Mughni, “Kitab an-Nikah”, “Fashl La Wilayata li Ghairil ‘Ashabat minal Aqarib”)